Sejumlah pengusaha yang bergabung dalam organisasi Paguyuban Pengusaha Jateng-DIY dan Ketum Perhimpunan Merah Putih Indonesia mengadu dihadapan Komisi VII DPR RI pada Senin, 10 Juli silam bahwa usahanya banyak yang tutup atau gulung tikar.

“Usaha tidak memperoleh keuntungan justru merugi sehingga dari 448 ada 201 yang rugi dan tutup serta terancam asetnya disita karena modal dari ,” ujar salah satu perwakilan.

Pengamat Energi Ali Ahmudi membeberkan tidak hanya di Jateng dan DIY tapi di kejadian tutupnya program pemerintah ini terjadi merata di Indonesia sesuai prediksinya.

“Bangkrut dan gulung tikarnya pengusaha bukan hanya di . Dari dulu saat saya hampir ikut terjun di itu, saya sudah memprediksikan bahwa jika aturan main dan fakta lapangan seperti yang ada sekarang, maka cepat atau lambat akan bertumbangan dan ternyata terbukti,” ujar Ali yang juga Direktur Eksekutif CESS (Center for Energy Security Studies) kepada pada Senin 17 Juli .

Ali kemudian membeberkan 4 faktor pemicu bangkrutnya sejumlah di Indonesia:

Pertama, Tujuan awal untuk memasarkan non-subsidi berupa langsung ke konsumen sebenarnya sudah bagus, namun tanpa memperhatikan kondisi empiris-psikologis pasar (konsumen kelas menengah kebawah) mayoritas pengguna (bisa Pertalite atau ). Ketika terjadi disparitas harga yang lebar (beda harga signifikan), maka pasar di level itu akan memilih yang termurah.”

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kedua, Adanya ketidakjelasan regulasi dan pelaksanaan di lapangan yang carut-marut membuat munculnya persaingan tidak sehat antara (resmi program pemerintah yang dikelola ) dengan para pengecer di lapangan (antaraain Pertamini, Pertabotol, dll) yang liar (tanpa aturan), bisa menjual apa saja (khususnya dan Pertalite), efisien dan efektif menjangkau konsumen di dalam gang. Akhirnya yang menjual hanya kebagian sisa konsumen yang makin lama tergerus.”

Ketiga, merupakan usaha dagang resmi yang investasinya cukup besar dan dikenai aneka kewajiban kepada negara (biaya perizinan, , retribusi, dll) dan aneka pungutan dari yang melihat nama besar . Namun disisi lain hanya dibatasi menjual satu jenis dagangan () dengan harga dan margin yang dibatasi. Itu artinya hanya mengandalkan konsumen yang rasional dan sensitif terhadap harga. Maka tak heran jika konsumen banyak beralih ke dan Pertalite di pinggir jalan yang dijual Pertamini atau langsung ke SPBU terdekat.”

“Keempat, Mayoritas pengusaha mengandalkan modal dari pembiayaan .  Dalam perjalanannya mereka harus dibebani cicilan bulanan dan bunga . Dengan harga dan margin yang dipatok, serta konsumen yang tergerus karena adanya pilihan lain, maka “lonceng kematian” sudah sangat dekat bagi .”

Ali pun meminta pemerintah untuk segera bersikap terkait kejelasan nasib para pengusaha yang seakan hidup segan mati tak mau.

“Kita tinggal menunggu pemerintah dan . Mau menyelamatkan dengan memberikan berbagai kelonggaran dan menertibkan para pengecer liar, atau membiarkan terbunuh pelan-pelan tanpa perlawanan.” pungkasnya.***