JakartaInsideCom– Harga saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang sempat masuk zona Rp50 alias saham gocap turut menarik perhatian pelaku pasar, termasuk mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Hasan Zein Mahmud.
Dimana fenomena GOTO, menurut Hasan Zein, merupakan bukti empiris konkrit tentang betapa irasionalnya bursa saham. Betapa ilogikalnya investor.
“Menjelang IPO, saat saya mengkritik tajam GOTO berulang ulang, para venture capitalists dan konglomerasi berlomba-lomba mendapatkan saham GOTO. Sebagian menyetor langsung dalam bentuk saham, sebagian dalam format MCB (termasuk Telkomsel). Ada nama nama besar seperti SVF GT Subco dan Taobao. Saya tak menemukan nama ADIA dan INA dalam daftar pemegang saham GOTO versi RTI,” tutur Hasan Zein melalui lansiran Bloomberg Technoz, Kamis (20/6/2024).
Lebih lanjut dirinya juga menyebutkan bahwa para pemodal menyetor dengan harga yang berbeda beda.
Oleh karena itu berdasarkan perkiraan Hasan Zein, para pemodal, terutama anchor investors menjelang IPO, rata-rata menyetor di atas Rp200/saham.
“Yang membeli dari IPO kita tahu, menyetor harga Rp338 per saham,” imbuhnya
Saat itu, rugi GOTO puluhan triliun. Alih-alih untung, GOTO, dalam prospektusnya kala itu, menyatakan akan tetap menderita rugi belasan triliun beberapa tahun ke depan.
Perusahaan tidak yakin mampu mencetak laba. GOTO juga harus melakukan private placement atau right issue berkala untuk menjaga bahan bakar, tetap tersedia agar roda operasi tidak mogok, berlomba-lomba bakar duit. Mengejar pertumbuhan GTV dengan mengorbankan rentabilitas.
“Kini setelah GOTO melakukan reorientasi bisnis, melakukan redefinisi terhadap core business, melakukan restrukturisasi (saya menyebut divestasi Toped sebagai amputasi untuk memperbaiki arus kas dan memperpanjang nafas), melakukan efisiensi, mulai berusaha menggapai laba, harga sahamnya terus melorot. ATL (all time low) demi ATL mengantar harga sahamnya di garis demarkasi,” katanya.
Hasan Zein menambahkan, kenaikan pendapatan 22%, penurunan rugi 76%, cashflow yang longgar dan ebitda yang mulai positif, sama sekali tak memiliki makna dalam menerawang prospek usaha dalam keputusan investasi dan dalam mekanisme tawar menawar saham.
“Antara cuan dan tetap memelihara akal sehat, saya lebih memilih yang belakangan.” ucapnya.