merupakan penghasil rotan terbesar di , dengan produksi mencapai 85% dari total pasokan . Namun, ironisnya, belum menjadi pemain utama dalam perdagangan rotan .

Ketua Umum Asosiasi dan Pengusaha Rotan Raya (), Hindaru, menyoroti permasalahan tata niaga rotan yang dinilai tidak efisien. Ia menyebut bahwa meskipun produksi rotan melimpah di tingkat hulu, penyerapan oleh dalam negeri masih sangat rendah.

“Ada dalam tata niaga rotan yang harus segera diselesaikan. Ada anomali di mana tidak mampu menyerap seluruh produksi rotan setengah jadi, hanya sekitar 20% saja,” ujar Hindaru kepada pada Kamis (30/1/).

Hindaru menjelaskan bahwa potensi produksi rotan di Kalimantan mencapai belasan ribu ton per . Namun, mebel dan kerajinan rotan di hanya menyerap beberapa ratus ton per .

Akibatnya, kelebihan stok yang tidak terserap ini menyebabkan dan pengepul rotan mengalami kesulitan . Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah Peraturan Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 yang melarang total rotan mentah dan setengah jadi.

“Regulasi ini membuat potensi produksi rotan di Kalimantan menjadi mubazir karena dalam negeri yang terlalu kecil,” terang Hindaru.

ini juga disebut memicu maraknya perdagangan rotan ilegal, yang berujung pada hilangnya potensi pemasukan devisa dan bagi .

Hindaru menilai bahwa ilegal rotan harus dipandang sebagai dampak dari rendahnya permintaan dalam negeri selama belasan tahun terakhir. Menurutnya, yang telah berlaku selama 14 tahun ini justru tidak mampu mendorong pertumbuhan industri mebel rotan di dalam negeri.

“Proteksi atau bahan baku rotan tidak membuat industri rotan dalam negeri berkembang. Banyak pengusaha yang akhirnya beralih ke rotan sintetis atau plastik impor dari ,” tegasnya.

Selain itu, ia menyebut bahwa ini juga menyebabkan semakin banyak industri pengolahan bahan baku rotan yang gulung tikar. Diperkirakan, saat ini hanya tersisa sekitar 10% dari total industri yang masih bertahan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, meminta pemerintah Prabowo Subianto untuk melakukan terhadap Permendag Nomor 35/2011, “ dilarang mengekspor, tetapi di dalam negeri rotan mereka tidak terserap maksimal. Nilai furnitur rotan pun tidak mengalami peningkatan,” ujar Hindaru.

Ia menegaskan bahwa tidak semua jenis rotan dibutuhkan oleh industri dalam negeri. Dari sekitar 30 jenis rotan yang tumbuh di , industri mebel di hanya menggunakan tiga hingga empat jenis, seperti rotan Sega.

“Permendag 35/2011 melarang semua jenis rotan, padahal hanya tiga atau empat jenis yang dibutuhkan oleh industri . Jenis lainnya justru tidak pernah dipesan dan akhirnya tidak termanfaatkan,” pungkas Hindaru.

berharap pemerintah dapat membuat tata kelola rotan yang lebih adil bagi dan pengusaha, sehingga sektor rotan dapat kembali berkontribusi bagi perekonomian .