JakartaInsideCom-Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan terdapat 6 tantangan penanganan terorisme di masa pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Dua di antaranya yang menjadi perhatian serius terkait Warga Negara Indonesia (WNI) terasosiasi Foreign Terorist Fighter (FTF) dan pelibatan anak serta perempuan dalam aksi terorisme.
Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Irjen Pol Ibnu Suhendra, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan negara harus hadir melindungi seluruh WNI dari terorisme termasuk melalui rencana pemulangan (repatriasi) WNI yang berada di kamp-kamp pengungsian di wilayah Timur Tengah.
“Kita berharap dapat menjemput mereka di sana. Ini bentuk perlindungan kepada warga negara kita. Kita akan melakukan program deradikalisasi kepada mereka,” jelas Jenderal Ibnu pada acara Bicara Terorisme Tantangan Penanganan Terorisme di Masa Pemerintahan Baru di The Habibie Center, di Jakarta pada Kamis (16/5/2024).
Sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum mengambil keputusan mengenai pemulangan WNI di luar negeri yang terasosiasi dengan FTF. Namun, BNPT berkoordinasi dengan seluruh kementerian/lembaga terkait rencana ini. Mekanisme penanganan WNI terasosiai FTF tertuang dalam Kepmenkopolhukam No 90/2023
“Sesuai dengan amanat Kepmenkopolhukam No 90/2023 Kep ini mengatur tentang alur dan mekanisme penanganan WNI terasosiasi FTF di luar negeri,” katanya.
Tantangan penanganan terorisme juga muncul dari pelibatan perempuan dan anak pada aksi terorisme yang jumlahnya semakin meningkat.
Deputi 2 BNPT menyebut saat ini lebih dari 60 perempuan dan 20 anak di bawah umur terorisme. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, terutama di era sebelum ISIS.
“Kelompok teroris ISIS membolehkan perempuan bahkan anak-anak melakukan amaliyah,” ungkapnya.
Keterlibatan perempuan dan anak pada aksi terorisme biasanya dilakukan dengan modus sederhana menggunakan peralatan yang mudah dan murah.
“Kasus-kasus teror dengan hanya bermodalkan pisau atau korek api,” katanya.
Posisi perempuan dan anak dalam keterlibatan terorisme juga menjadi perhatian penting karena seharusnya aksi terorisme justru dapat dicegah dengan hadirnya peran perempuan, terutama ibu yang dapat menjadi garda terdepan penanaman nilai-nilai toleransi dan keharmonisan.
“Kita menemukan anak-anak yang terlibat terorisme telah didoktrin sejak kecil. Terorisme ini nggak ujug-ujug terjadi, tapi bertahap dari intoleransi dan radikali. Untuk itu peran ibu, peran keluarga sangat penting dalam mengajarkan nilai-nilai toleransi, pemahaman kebangsaan dan keharmonisan dalam keluarga,” ungkapnya.
Selain dua tantangan tersebut terdapat juga empat tantangan lainnya yaitu terkait residivis terorisme, dinamika kekerasan di Papua, penggunaan teknologi dan pendanaan terorisme.