kembali ramai memperbincangkan kebijakan pemerintah Subianto terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai () menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen.

Kebijakan ini menuai pro dan kontra di berbagai kalangan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum pulih sepenuhnya.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Bersatu, , menyampaikan pandangannya kepada pada Kamis (26/12/2024). Ia mengkritisi dampak kenaikan terhadap daya beli yang melemah.

Menurutnya, sejak 2019 hingga 2024, jumlah warga menengah berkurang hingga 9,48 juta orang, menyisakan hanya 47,85 juta jiwa atau 17,13 persen dari total populasi, turun dari 21,45 persen lima tahun lalu.

dengan kondisi ekonomi pas-pasan harus kembali menelan pil pahit,” ujar Arief. Namun, ia juga mencatat adanya sebagian yang mendukung kebijakan ini, dengan alasan seperti global, beban , dan pembiayaan pembangunan.

Kebijakan kenaikan ini sejatinya telah diatur dalam Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Bab IV Pasal 7 ayat (1), ditetapkan dapat dinaikkan hingga maksimal 15 persen dan minimal 5 persen melalui peraturan pemerintah.

Pada April 2022, telah menaikkan tarif dari 10 persen menjadi 11 persen, meski saat itu masih dihantui dampak pandemi COVID-19 dan kenaikan harga pokok.

Pada , penerimaan dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) tercatat mencapai Rp 764,3 triliun, atau sekitar 40 persen dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.869,23 triliun.

Kenaikan tarif dari 10 ke 11 persen saat itu justru memicu pertumbuhan penerimaan hingga 11,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Menurut Arief, kenaikan tarif menjadi 12 persen adalah langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan , terutama guna membiayai program-program prioritas, seperti dan pelunasan utang yang dijanjikan .

“Perlu diingat, rata-rata tarif mencapai 15 persen, sedangkan masih di angka 11 persen dan akan menjadi 12 persen pada 2025. Ini masih di bawah rata-rata global,” jelas Arief.

Ia juga menegaskan bahwa kebijakan ini diambil dengan prinsip keadilan dan tepat sasaran, demi menjaga kepentingan kecil.

Arief optimistis, meski kenaikan dapat memengaruhi ekonomi dalam jangka pendek, keseimbangan pasar akan tercapai.

“Seperti saat dikurangi di era , meski awalnya sulit, akhirnya menemukan keseimbangan dan kemiskinan justru menurun,” katanya.

Menanggapi kritik dari elit terhadap kebijakan ini, Arief mengingatkan agar tidak memperkeruh suasana.

“Saat tarif naik dari 10 ke 11 persen, tidak ada protes. Jadi, jangan jadi ‘kompor meleduk’ sekarang,” pungkasnya.

Kenaikan ini diharapkan menjadi bagian dari transformasi sistem perpajakan , dengan tujuan memperkuat penerimaan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Namun, tantangan bagi pemerintah adalah memastikan kebijakan ini benar-benar memberikan manfaat yang dirasakan langsung oleh .