Perempuan boleh terlibat menjadi pemimpin sebab sistem pemerintahan negara membolehkannya,
Jayapura –
Pengarusutamaan gender juga diwujudkan di strategi pelaksanaan kebijakan, program, monitoring, lalu evaluasi, juga pada kerja serupa dengan pihak luar Papua.
Di berada dalam terus menguatnya isu kesetaraan, perempuan Papua sekarang mulai berbagai yang dimaksud dipercaya menduduki jabatan publik, khususnya pada era otonomi khusus atau otsus.
Saat ini, misalnya, makin banyak perempuan Papua memimpin, baik di Tanah Papua maupun pada panggung nasional. Misalnya, Menteri Perlindungan Anak dan juga Perempuan periode 2014-2019 Yohana Yembise, kemudian Fientje Maritje Suebu yang digunakan menjabat Duta Besar RI dalam Selandia Baru, sesudah itu Ribka Haluk sebagai Penjabat Pengurus Papua Tengah, ada juga Nerlince Wamuar Rollo sebagai Ketua MRP Provinsi Papua, juga terbaru Penjabat Kepala Kabupaten Biak Numfor Sofia Bonsapia.
Oleh oleh sebab itu itu, pemerintahan Provinsi Papua terus menggerakkan diperkenalkan kaum perempuan berkiprah ke bermacam bidang dikarenakan telah tidaklah ada lagi sekat yang tersebut membatasinya.
Kepala Lingkup Pengarusutamaan Gender Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan juga Keluarga Berencana Papua Adeltje Pekade menyatakan salah satu penguatannya, antara lain, melalui sosialisasi lalu advokasi. Dua langkah ini harus terus digalakkan agar makin banyak lagi kiprah perempuan pada Tanah Papua.
“Untuk pemberdayaan perempuan, kami terus memberikan dukungan, advokasi, komunikasi Informasi, dan juga edukasi melalui kelompok atau organisasi setempat,” katanya.
Setiap tahun dinas ini bersatu instansi terkait menjalankan acara penguatan perempuan, misalnya, ke bidang kebijakan pemerintah hukum juga ekonomi, yang merupakan salah satu upaya eksekutif menghadirkan kesetaraan gender.
Kesepahaman memang sebenarnya masih berubah menjadi kesulitan sehingga antarinstansi harus terus ditingkatkan agar semua mempunyai komitmen identik untuk memberi kesempatan perempuan berkiprah dalam segala bidang.
eksekutif dinilai telah memberikan apresiasi luar biasa, yang mana ditandai bahwa peluncuran perempuan-perempuan pada tempat strategis dapat membantu menyuarakan aspirasi kaum perempuan.
Saat ini, misalnya, kursi Ketua MRP diduduki seseorang perempuan. Jabatan besar pada lembaga kultural ini sebelumnya diduduki kaum pria, mengingat budaya patriarki yang masih kental. Akan tetapi, ternyata sosok perempuan di dalam pucuk MRP itu dapat membuktikan diri mampu memegang amanat tersebut.
“Jadi, kami berharap akan ada lagi perempuan-perempuan Papua lainnya berkiprah agar dapat menyuarakan aspirasi perempuan sehingga bisa saja memberikan informasi ke berubah-ubah pihak bagaimana keadaan perempuan kemudian anak juga dapat berubah menjadi kebijakan ke depan,” kata beliau lagi.
Meskipun secara kodrati perempuan memang sebenarnya berbeda dengan pria, perbedaan ini bukan dapat dijadikan pembenar bahwa kaum perempuan itu lemah.
Oleh lantaran itu, seiring berjalannya waktu, pada saat ini perempuan-perempuan tangguh mulai bermunculan sehingga konsep gender serta kesetaraan lebih lanjut bisa saja diterima rakyat luas.
Munculnya perempuan tangguh pada waktu berjalannya Otsus Papua Jilid Satu menjadikan acara kesetaraan gender satu per satu mulai dibahas tak lama kemudian diimplementasikan.
Gender berhubungan dengan pembedaan peran, status juga kedudukan, juga tanggung jawab juga fungsi dan juga pembagian kerja dari kaum dianggap lemah berbeda dengan pria.
Untuk itu hadirnya Otsus, kesetaraan gender makin terlihat, kaum perempuan dipandang setara tanpa diskriminasi berdasarkan identitas seksual.
“Salah satu inovasi dihasilkan oleh pemberlakuan Otsus di dalam Tanah Papua adalah lahirnya Zaman 'Komnis',” ujarnya.
“… ketika ini terciptanya satu zaman baru yang mana disebut sebagai Zaman Komnis,” katanya yang mana juga merupakan Kepala Adat Publik Biak Barat- Swandiwe di dalam Tanah Tabi.
Dengan kesetaraan gender, ketika ini status serta kedudukan antara pria serta wanita identik dalam era Otsus Jilid Dua, yang tersebut ditandai dengan hadirnya beberapa perempuan Papua yang dimaksud dipercaya menjadi pemimpin lembaga-lembaga negara.
Salah satunya Yohana Yembise selaku dosen Uncen kemudian sebagai Menteri Perlindungan Anak lalu Perempuan. Padahal sebelumnya ia mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah Biak Numfor, namun terhalang lantaran hukum adat Biak melarang wanita memimpin.
Zaman Komnis di Era Otsus akhirnya membuka ruang itu sehingga bukan heran kalau para perempuan telah terjadi siap ditempatkan dalam mana hanya sesuai kemampuan kemudian kebutuhan.
Dengan semakin berbagai perempuan yang mana mulai menunjukkan diri maka kaum laki-laki pun harus menerima lantaran memang benar tiada akan mengacaukan tatanan adat yang tersebut telah ribuan kemudian bahkan jutaan tahun dipakai sebelum adanya agama juga negara.
“Perempuan boleh mengambil bagian menjadi pemimpin sebab sistem pemerintahan negara membolehkannya, tetapi jikalau menyangkut hukum adat lalu gereja, jangan sekali-kali kali melanggar juga mengubah itu,” katanya.
Penjabat Kepala Kabupaten Biak Numfor Sofia Bonsapia menyatakan apresiasi untuk Penjabat Pemuka Papua dan juga Menteri Dalam Negeri yang digunakan telah memberikan kepercayaan untuk bergabung memulai pembangunan tanah kelahiran.
Artikel ini disadur dari Kiprah perempuan Papua kian menonjol pada era Otsus