JakartaInsideCom– Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) kembali menjadi sorotan. Sejumlah akademisi, pakar hukum, serta perwakilan masyarakat berkumpul dalam Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Grand Candi, Semarang, pada Selasa (25/2/2025) untuk membahas berbagai persoalan hukum dan dampak sosial dari proyek ambisius ini.
Diskusi ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, bekerja sama dengan Kantor Hukum dan Kekayaan Intelektual “LEO & PARTNERS” serta Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI).
Sejumlah narasumber terkemuka di bidang hukum dan ekonomi turut hadir, di antaranya:
✅ Prof. Dr. FX Sugianto, MS – Universitas Diponegoro
✅ Prof. Dr. Eko Handoyo, M.Si. – Universitas Negeri Semarang
✅ Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S – Universitas Brawijaya
✅ Ganjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H – Universitas Indonesia
Ketua Panitia, Emanuel Boputra, S.H., M.H., menyoroti kontroversi “pagar laut” yang sempat viral. Awalnya, proyek ini dikaitkan dengan isu abrasi, tetapi belakangan muncul dugaan bahwa tanah hasil abrasi justru diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Milik (HM).
“Inilah yang memicu polemik. Di satu sisi, ada yang menganggapnya sah, tetapi di sisi lain, banyak yang menilai ini melanggar hukum tanah, hukum tata guna lahan, hingga hukum lingkungan,” jelas Emanuel.
Ia juga menekankan bahwa proyek PIK 2 tidak hanya menyangkut aspek investasi, tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.
Para akademisi menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan proyek-proyek besar seperti PIK 2.
Tanpa partisipasi publik yang memadai, pembangunan bisa berujung pada ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.
“Keseimbangan antara investasi dan kelestarian lingkungan harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai proyek ini hanya menguntungkan pihak tertentu, sementara masyarakat terdampak harus menanggung akibatnya,” ujar salah satu narasumber.
Ketua Umum Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Arifin Nur Cahyono, berharap FGD ini dapat mengklarifikasi berbagai tuduhan yang selama ini diarahkan kepada PIK 2.
“Diskusi ini bisa menjadi sumber informasi yang netral dan objektif bagi masyarakat, sehingga mereka tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang keliru,” katanya.
Hasil dari diskusi ini akan dirangkum dalam sebuah kajian akademik yang dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dan pengambil kebijakan. Tujuannya adalah menciptakan regulasi yang tidak hanya berpihak pada investor, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat lokal dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Jangan sampai proyek besar seperti ini menjadi preseden buruk bagi pengelolaan laut dan pesisir di Indonesia. Regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas sangat dibutuhkan,” pungkas Emanuel.
Diskusi ini menegaskan bahwa pembangunan harus dilakukan dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan transparansi. Proyek PIK 2 masih menjadi perdebatan, tetapi satu hal yang pasti: masa depan kawasan ini tidak boleh hanya ditentukan oleh kepentingan segelintir pihak.