Masih Menuai Kritik dari Masyarakat Sipil
Meski telah mendapat persetujuan di tingkat legislatif, revisi UU TNI tetap menuai kritik dari sejumlah pegiat hak asasi manusia, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil.
Kekhawatiran utama yang disuarakan adalah potensi kembalinya peran ganda TNI di ranah sipil yang dinilai dapat mengganggu prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Dalam revisi terbaru, Pasal 3 mengatur bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer tetap berada di bawah kendali Presiden Republik Indonesia, sedangkan kebijakan strategis pertahanan serta dukungan administrasi TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Selain itu, revisi Pasal 7 ayat (2) menghilangkan kewenangan TNI dalam membantu penanganan penyalahgunaan narkotika, yang sebelumnya diatur dalam ketentuan lama. Perubahan lainnya terdapat pada Pasal 53, yang menetapkan usia pensiun prajurit aktif berdasarkan pangkat dan jabatan.
RUU TNI juga memperluas ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga. Tercatat ada 15 instansi yang kini dapat diisi oleh prajurit aktif, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Dewan Pertahanan Nasional, Sekretariat Presiden, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, hingga Badan SAR Nasional.
Meski sejumlah pihak menilai hasil revisi UU TNI cukup akomodatif dan tidak mengganggu tata politik nasional, kritik dari masyarakat sipil masih terus bergulir. Revisi ini dinilai membuka ruang baru bagi keterlibatan TNI di ranah sipil, sehingga pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam implementasinya menjadi kunci untuk memastikan keseimbangan antara peran militer dan supremasi sipil tetap terjaga.