Indonesia di bawah pada tahun 2025 menghadapi berbagai tantangan dan dinamika yang mencerminkan upaya pemerintah untuk menavigasi situasi yang tidak menentu serta tekanan domestik.

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah sejauh ini yang menunjukkan keberanian dalam merombak struktur anggaran negara, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Salah satu utama yang menjadi sorotan adalah efisiensi anggaran sebesar 300 triliun rupiah melalui Instruksi No. 1 Tahun 2025. Pemerintah melakukan ini dengan memangkas belanja rutin dan mengalihkan sebagian besar dana ke proyek-proyek strategis, seperti Belajar Gotong Royong (MBG).

ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan menyediakan makanan bagi , tetapi membutuhkan anggaran yang sangat besar, yakni sekitar 171 triliun rupiah.

Pemerintah menganggap langkah ini penting untuk menciptakan dampak sosial yang signifikan, namun banyak pihak mempertanyakan apakah pengorbanan dari sektor lain, seperti dan kesehatan, sepadan dengan hasil yang diharapkan.

Selain itu, keputusan untuk melakukan efisiensi anggaran juga dipengaruhi oleh tekanan fiskal yang besar.

Pada tahun ini, pemerintah Indonesia harus menghadapi jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) senilai hingga 800 triliun rupiah, yang sebagian besar diterbitkan selama pandemi COVID-19.

Hal ini menambah beban pada anggaran negara di tengah penerimaan yang tidak mencapai target akibat perubahan yang gagal dinaikkan menjadi 12% serta masalah teknis pada Coretax. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya tantangan struktural dalam pengelolaan fiskal yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Namun, langkah efisiensi anggaran ini tidak lepas dari kritik. Banyak pihak menilai bahwa tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena pengurangan belanja pemerintah akan berdampak langsung pada konsumsi domestik dan publik.

Beberapa proyek besar bahkan diserahkan kepada sektor swasta dengan alasan efisiensi dan . menyatakan bahwa swasta lebih mampu menangani proyek-proyek seperti jalan tol, , dan secara lebih cepat dan hemat biaya.

Meski demikian, ini memunculkan kekhawatiran tentang potensi ketimpangan akses dan ketergantungan pada sektor swasta dalam pembangunan strategis.

Di sisi lain, pemerintahan Prabowo juga mencoba memprioritaskan swasembada pangan sebagai salah satu agenda utama.

Pemerintah sering menyuarakan tentang kemandirian pangan sebagai bagian dari visi besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat daya tahan ekonomi domestik.

Namun, implementasi seperti Food Estate masih menghadapi berbagai kendala teknis dan .

Masyarakat mengkritik pembukaan baru secara besar-besaran untuk pertanian karena dianggap mengancam kelestarian hutan dan ekosistem lokal tanpa jaminan keberhasilan panen.

Dalam konteks makroekonomi, pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 8% pada tahun 2025 sebuah angka ambisius mengingat situasi yang melambat dan tantangan domestik yang kompleks.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintahan Prabowo berupaya mendorong asing dan meningkatkan ekspor sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi. Namun, efisiensi anggaran yang drastis dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jika pemerintah tidak mengimbangi dengan stimulus ekonomi yang cukup untuk menjaga daya beli masyarakat.

Selain itu, ekonomi pemerintahan Prabowo tampaknya berusaha meninggalkan model trickle-down economics atau teori penetesan ke bawah yang dianggap terlalu lambat dalam mendistribusikan kepada masyarakat luas.

Sebaliknya, Prabowo memilih untuk melakukan intervensi langsung oleh negara guna memastikan bahwa nasional dapat dirasakan oleh segmen masyarakat yang lebih luas. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah untuk melindungi kelompok rentan melalui pangan dan peningkatan gaji guru non-ASN bersertifikat. Namun demikian, langkah-langkah populis semacam ini dapat menimbulkan risiko bagi pemerintah jika tidak didukung oleh basis fiskal yang kuat.

Beberapa pengamat mencatat bahwa tersebut sering kali lebih bersifat politis daripada ekonomis, terutama mengingat tekanan untuk menjaga dalam koalisi besar pemerintahan Prabowo.

Dengan kabinet yang relatif gemuk sebagai akibat dari kompromi politik, ruang fiskal menjadi semakin sempit sehingga efisiensi anggaran menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Meskipun demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo masih relatif tinggi. Citra yang tegas serta langkah-langkah pro-rakyat, seperti pembatalan kenaikan setelah mendapat kritik luas, sebagian besar menyebabkan hal ini.

Selain itu, kurangnya oposisi resmi terhadap pemerintahan Prabowo juga memberikan ruang bagi pemerintah untuk bergerak tanpa tekanan politik yang berarti.

Ke depan, keberhasilan strategi ekonomi pemerintahan Prabowo akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan berbagai prioritas nasional dengan keterbatasan anggaran yang ada.

Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak hanya menjadi alat untuk menutup defisit fiskal tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan.

Indonesia pada tahun 2025 berada di persimpangan jalan antara ambisi besar menuju negara maju dan realitas keterbatasan serta tekanan global.

Pemerintahan Prabowo memiliki visi yang jelas tentang arah , tetapi implementasi akan menjadi kunci utama apakah visi tersebut dapat terwujud atau justru menjadi beban tambahan bagi generasi mendatang.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara untuk memastikan bahwa setiap rupiah digunakan secara efektif demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

*) Ahmad Dzunnuha, Penulis adalah Mahasiswa SEBI