– Lima tahun setelah Covid-19 mengguncang , konsumen muslim mengalami transformasi besar. Digitalisasi yang pesat selama memperkenalkan mereka pada era Muslim 4.0, di mana menjadi bagian tak terpisahkan dari sehari-hari, termasuk dalam beribadah, berbelanja, dan berinteraksi.

Namun, kini memasuki fase baru: Muslim 5.0, sebuah era yang tidak hanya mengutamakan digitalisasi dan aspek halal, tetapi juga memperhitungkan nilai-nilai etika, keberlanjutan, dan kepedulian sosial.

Konsep Muslim 5.0 diperkenalkan oleh Yuswohady, Managing Partner Inventure, dalam ajang Muslim Market (IMMO) . Ia menjelaskan bahwa pandemi mendorong munculnya Muslim 4.0, di mana berperan besar dalam umat . Namun, pasca pandemi, terjadi pergeseran signifikan.

“Sekarang kita memasuki era Muslim 5.0, di mana konsumen muslim tidak lagi melihat sebagai aturan kaku, tetapi sebagai prinsip yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan umat (maqashid ).

Prinsip ini dipraktikkan secara adaptif untuk mewujudkan sebagai rahmatan lil alamin,” ujar Yuswohady.

Muslim 5.0 mengadopsi konsep Society 5.0, dari yang menekankan penggunaan untuk menciptakan yang lebih humanis dan etis. Dalam , ini berarti konsumen tidak hanya fokus pada aspek halal dan digital, tetapi juga memperhitungkan keberlanjutan (sustainability), sosial, dan kesejahteraan umat.


Transformasi ini ditandai dengan meningkatnya ethical consumerism di kalangan umat . Konsumen kini tidak hanya memastikan kehalalan produk dari sisi , tetapi juga mempertimbangkan sosial dan lingkungan.

Fenomena ini tercermin dalam berbagai aksi sosial, seperti pemboikotan produk-produk yang dianggap mendukung Israel atau +. Bagi Muslim 5.0, konsumsi bukan hanya memenuhi , tetapi juga bagian dari upaya menjaga , , akal, harta, dan generasi mendatang—lima pilar dalam maqashid .

CEO , Irvan Nugraha, menyoroti meningkatnya kesadaran konsumen muslim terhadap isu .

“Konsumen muslim kini lebih peduli pada produk halal dan turut memperjuangkan isu-isu kemanusiaan, seperti dukungan terhadap Palestina yang tercermin dalam gerakan boikot produk pro-Israel,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Irvan menjelaskan bahwa Muslim 5.0 tidak hanya melihat manfaat teknis suatu produk, tetapi juga mempertimbangkan keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan konsumsi terhadap .

Muslim 5.0 membawa tantangan dan peluang bagi pelaku . Perusahaan kini harus lebih transparan, beretika, dan memiliki kepedulian sosial jika ingin menarik hati konsumen muslim.

Mereka yang hanya mengandalkan label “halal” tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan sosial akan kesulitan bersaing.

Di sisi lain, peluang besar terbuka bagi yang mampu menawarkan produk dan layanan berbasis maqashid , yang tidak hanya halal secara , tetapi juga membawa maslahat bagi umat dan lingkungan.

Transformasi ini menunjukkan bahwa Muslim 5.0 bukan sekadar kategori konsumen, tetapi sebuah yang lebih etis, berprinsip, dan bertanggung jawab. Era ini menjadi bukti bahwa umat semakin aktif dalam menentukan depan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.