JakartaInsideCom– Lima tahun setelah pandemi Covid-19 mengguncang dunia, perilaku konsumen muslim mengalami transformasi besar. Digitalisasi yang pesat selama pandemi memperkenalkan mereka pada era Muslim 4.0, di mana teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam beribadah, berbelanja, dan berinteraksi.
Namun, kini dunia memasuki fase baru: Muslim 5.0, sebuah era yang tidak hanya mengutamakan digitalisasi dan aspek halal, tetapi juga memperhitungkan nilai-nilai etika, keberlanjutan, dan kepedulian sosial.
Konsep Muslim 5.0 diperkenalkan oleh Yuswohady, Managing Partner Inventure, dalam ajang Indonesia Muslim Market Outlook (IMMO) 2025. Ia menjelaskan bahwa pandemi mendorong munculnya Muslim 4.0, di mana teknologi berperan besar dalam kehidupan umat Islam. Namun, pasca pandemi, terjadi pergeseran signifikan.
“Sekarang kita memasuki era Muslim 5.0, di mana konsumen muslim tidak lagi melihat hukum Islam sebagai aturan kaku, tetapi sebagai prinsip yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan umat (maqashid syariah).
Prinsip ini dipraktikkan secara adaptif untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” ujar Yuswohady.
Muslim 5.0 mengadopsi konsep Society 5.0, gagasan dari Jepang yang menekankan penggunaan teknologi untuk menciptakan masyarakat yang lebih humanis dan etis. Dalam konteks Islam, ini berarti konsumen tidak hanya fokus pada aspek halal dan digital, tetapi juga memperhitungkan keberlanjutan (sustainability), dampak sosial, dan kesejahteraan umat.
Transformasi ini ditandai dengan meningkatnya ethical consumerism di kalangan umat Islam. Konsumen kini tidak hanya memastikan kehalalan produk dari sisi hukum Islam, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.
Fenomena ini tercermin dalam berbagai aksi sosial, seperti pemboikotan produk-produk yang dianggap mendukung Israel atau LGBT+. Bagi Muslim 5.0, konsumsi bukan hanya soal memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi juga bagian dari upaya menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan generasi mendatang—lima pilar dalam maqashid syariah.
CEO Rumah Zakat, Irvan Nugraha, menyoroti meningkatnya kesadaran konsumen muslim terhadap isu global.
“Konsumen muslim kini lebih peduli pada produk halal dan turut memperjuangkan isu-isu kemanusiaan, seperti dukungan terhadap Palestina yang tercermin dalam gerakan boikot produk pro-Israel,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Irvan menjelaskan bahwa Muslim 5.0 tidak hanya melihat manfaat teknis suatu produk, tetapi juga mempertimbangkan keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan dampak konsumsi terhadap dunia.
Tren Muslim 5.0 membawa tantangan dan peluang bagi pelaku bisnis. Perusahaan kini harus lebih transparan, beretika, dan memiliki kepedulian sosial jika ingin menarik hati konsumen muslim.
Mereka yang hanya mengandalkan label “halal” tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan dampak sosial akan kesulitan bersaing.
Di sisi lain, peluang besar terbuka bagi industri yang mampu menawarkan produk dan layanan berbasis maqashid syariah, yang tidak hanya halal secara hukum, tetapi juga membawa maslahat bagi umat dan lingkungan.
Transformasi ini menunjukkan bahwa Muslim 5.0 bukan sekadar kategori konsumen, tetapi sebuah gaya hidup yang lebih etis, berprinsip, dan bertanggung jawab. Era ini menjadi bukti bahwa umat Islam semakin aktif dalam menentukan masa depan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pergeseran Konsumen Muslim Pasca Pandemi: Era Muslim 5.0 yang Lebih Etis dan Universal

Halaman: