Oleh : Yanuar Catur Pamungkas
JakartaInsideCom – Hasil quick count sementara pada Pilkada DKI Jakarta 2024 menunjukkan keunggulan pasangan calon Pramono Anung-Rano Karno dibandingkan pasangan lainnya, yakni Ridwan Kamil–Suswono serta Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Pasangan Pram-Rano berhasil meraih angka signifikan dengan rata-rata antara 49% hingga 51%. Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung hanya satu putaran.
Kemenangan Pramono Anung-Rano Karno bukanlah hal kebetulan. Fenomena ini menegaskan pola yang terus berulang dalam Pilkada DKI Jakarta. Dalam tiga Pilkada terakhir, warga Jakarta cenderung memilih figur baru yang tidak berasal dari perwakilan pemerintah pusat yang sedang berkuasa.
Polanya Terulang Sejak Pilkada 2012
Pola ini dimulai pada Pilkada DKI Jakarta 2012, di mana pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, yang diusung oleh PDIP dan Gerindra sebagai oposisi pemerintah pusat, memenangkan kontestasi melawan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli. Saat itu, Fauzi-Nahrowi didukung oleh banyak partai, termasuk Partai Demokrat yang sedang memimpin pemerintahan.
Kejadian serupa terjadi kembali pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang diusung oleh Gerindra dan PKS sebagai oposisi, mengalahkan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang didukung PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah pusat.
Pada Pilkada 2024 ini, pola tersebut tampaknya terulang lagi. Pasangan Ridwan Kamil–Suswono, yang diusung oleh mayoritas partai pendukung pemerintah, diprediksi kalah dari Pramono Anung-Rano Karno. Pramono-Rano merupakan pasangan yang diusung PDIP, partai oposisi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Jakarta: Antipati Terhadap Figur Pemerintah Pusat?
Dari ketiga peristiwa tersebut, terlihat bahwa pasangan calon yang dianggap sebagai representasi pemerintah pusat atau “rezim” sering kali tidak disukai oleh warga Jakarta. Sebaliknya, warga cenderung memilih figur oposisi yang menjadi lawan utama pemerintah pusat. Fenomena ini menegaskan bahwa persepsi publik tentang figur politik lebih menentukan dibandingkan gagasan atau program kerja.
Kondisi di Wilayah Lain: Berbeda dengan Jakarta
Berbeda dengan Jakarta, di sejumlah wilayah lain rivalitas antara KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) dan PDIP menunjukkan hasil berbeda. Pasangan calon dari KIM Plus justru memenangkan kontestasi di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah Pilkada Jawa Tengah. Sebagai basis massa PDIP, Jawa Tengah semula diprediksi akan dimenangkan oleh pasangan Andika-Hendi yang diusung PDIP. Namun, dukungan terbuka dari mantan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto terhadap pasangan Ahmad Lutfi-Taj Yasin dari KIM Plus ternyata sangat memengaruhi hasil akhir. Meski awalnya unggul di banyak survei, Andika-Hendi akhirnya kalah dari Lutfi-Taj Yasin dengan selisih angka yang cukup signifikan.
Kejadian ini menunjukkan bahwa, di luar Jakarta, dukungan dari tokoh besar seperti Jokowi dan Prabowo mampu menetralkan kekuatan mesin partai PDIP, bahkan di wilayah yang dikenal sebagai basisnya.
Pelajaran Politik dari Pilkada 2024
Pilkada 2024 memberikan pelajaran penting bahwa dalam dunia politik, persepsi publik adalah kunci utama. Siapa pun yang mampu membangun persepsi yang sesuai dengan keinginan masyarakat memiliki peluang besar untuk memenangkan kontestasi politik. Gagasan dan program kerja sering kali kalah relevansi ketika persepsi tentang figur sudah terbentuk, baik itu persepsi positif maupun negatif.
Persepsi, bukan hanya program, menjadi elemen krusial dalam memenangkan hati masyarakat pemilih. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa politik adalah tentang bagaimana kandidat mampu memahami dan memenuhi ekspektasi persepsi publik.