Sebuah opini dari Muhammad Sulaiman Rasyid
Maqasidsyariah merupakan warisan yang luar biasa, terutama untuk penyelesaian masalah baru yang status hukumnya tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sistem perbankan syariah yang hendak diterapkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah modern yang bersifat universal dan terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Suatu sistem perbankan yang merepresentasikan wujud terapan dari konsep ekonomi syariah, yang dirumuskan dengan mempertimbangkan permasalahan bangsa Indonesia terkini dan sekaligus mempertimbangkan kondisi sosial budaya bangsa ini menorehkan sejarahnya.
Bepergian Realitas aktual kebutuhan sektor keuangan harus dilihat melalui lensa maqashid (kamaslahatan) dan apa artinya dalam situasi saat ini.
Misalnya, ketika merumuskan fatwa hawalah, Anda harus melihat berbagai mazhab yang ada dan melihat aslah (maslaha dan yang lebih penting) mana yang lebih masuk akal dan lebih bermanfaat.
Tidak hanya bank syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, tetapi ada kontrak tradisional Islam yang dapat diterapkan dalam praktik perbankan bebas bunga yang dimaksud.
Akad Islam tradisional atau yang disebut prinsip syariah adalah instrumen yang menggantikan sistem tradisional bunga (riba), ketidakpastian (gharar), perjudian (maisyir) dan batil, yang merupakan unsur-unsur yang dilarang dalam Islam.
Kebijakan No. 11/POJK.03/2020 Pemulihan Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penanggulangan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 berlanjut setelah perkembangan dampak ekonomi Covid-19. Sejak awal relaksasi pada 16 Maret 2020 hingga akhir Desember 2020, program restrukturisasi pinjaman perbankan mencapai nilai Rp971 triliun yang diberikan kepada 7,6 juta debitur.
POJK baru ini dimaksudkan sebagai tindak lanjut proaktif yang mendorong optimalisasi efisiensi operasional perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dan menghindari moral haram.
Ketentuan utama dari kebijakan restrukturisasi sebelumnya tetap berlaku. Namun demikian, kebijakan baru tersebut mencakup perubahan peraturan yang menekankan penerapan manajemen risiko dan prinsip solvabilitas bagi bank dalam penerapan kebijakan tersebut, serta kebijakan terkait permodalan dan likuiditas bank. Penyesuaian peraturan tersebut antara lain bank harus menerapkan manajemen risiko untuk menentukan debitur yang terkena dampak dan bank harus membuat ketentuan bagi debitur yang dianggap tidak layak lagi sesuai dengan perjanjian kredit.
Seperti bank tradisional, bank syariah juga melakukan restrukturisasi keuangan bagi nasabah yang terdampak pandemi Covid-19. Dalam melaksanakan restrukturisasi perbankan syariah, terdapat beberapa isu penting yang harus dipahami oleh seluruh bankir syariah, BPRS, notaris dan masyarakat. Pembiayaan rekonstruksi mencakup ketentuan hukum positif seperti pemberian royalti dan jaminan pengikatan APHT atau wali amanat.
Restrukturisasi Pembiayaan Murabahah, Musyarakah Mutanaqishah, Istisna’, IMBT, Ijarah atau Jarah Multijasa dan Hipotek dengan Qardh. Reorganisasi Murabahah Musyarakah Mutanaqishah atau IMBT, Karena bila pembiayaan konsumtif seperti KPR tidak dimungkinkan dengan musyarakah.
Penyelarasan Fatwa Syariah DSN MUI dengan praktik hukum positif berdasarkan asas menghilangkan kesulitan berdasarkan kemudahan, keadilan dan kemanfaatan. Jangan sampai salah perubahan struktur justru semakin membebani dan membebani nasabah yang mengalami kesulitan keuangan akibat ketidaktahuan akan harmonisasi fatwa dalam hukum positif. Mengatur kontrak perjanjian garis dan menarik kontrak seperti Murabahah, Musyarakah atau Musyarakah Mutanaqishah. Dalam hal restrukturisasi, tambahkan dan gunakan opsi reformasi subjektif pasif atau aktif dan reformasi objektif dalam restrukturisasi akad musyarakah atau murabahah. Pembiayaan murabahah dikonversi menjadi musyarakah, dapat dikonversi kembali menjadi murabahah ketika pandemi covid berakhir.***