Menurutnya, dalam setiap proses peradilan, semua pihak harus memahami dan menghormati aspek substansi, prosedur, serta kewenangan hakim dalam mengambil keputusan.
“Ketika seseorang ingin memperjuangkan suatu substansi dalam persidangan, maka harus dilakukan dengan prosedur yang benar.
Jika ada pihak yang tidak terima atas keputusan hakim, ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh, bukan dengan tindakan yang melukai marwah persidangan,” ujar Suparji.
Ia menegaskan bahwa persidangan pada prinsipnya terbuka untuk umum guna menjamin transparansi dan akuntabilitas. Namun, dalam kasus tertentu, seperti yang menyangkut kesusilaan, hakim berwenang untuk memutuskan sidang tertutup.
Oleh karena itu, jika ada keberatan terhadap keputusan tersebut, langkah yang seharusnya diambil adalah mengajukan keberatan kepada ketua pengadilan negeri, bukan keluar dari persidangan dan menyebabkan sidang tidak berjalan.
Suparji juga menekankan pentingnya menjaga integritas persidangan agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum.
“Jika ada kekhawatiran terhadap independensi persidangan, hal itu harus disikapi secara rasional dan objektif, bukan dengan membandingkan kasus–kasus lain yang tidak relevan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa profesi hukum, termasuk hakim dan pengacara, memiliki kode etik yang harus dijaga. Jika ada pelanggaran dalam praktik hukum atau etika profesi, maka ada mekanisme yang bisa ditempuh, termasuk melalui Dewan Kehormatan.
“Dalam dunia hukum, seperti halnya dalam olahraga, jika ada pelanggaran serius, ada sanksi yang harus dijalani. Jika seorang pemain mendapatkan kartu merah, ia tidak bisa langsung bermain kembali sebelum menjalani konsekuensi dari pelanggarannya,” ujarnya mengibaratkan.
Suparji mengakhiri pernyataannya dengan menegaskan bahwa setiap proses hukum harus berjalan sesuai aturan yang berlaku, dengan tetap menjaga etika dan kehormatan profesi hukum agar persidangan tetap menjadi forum yang mulia dan dihormati oleh semua pihak.