sebagai seni purba, yang tak lenyap oleh zaman, adalah satu –meminjam istilah latin, ars longa vita brevis–kekuatan hati nurani dari pelbagai godaan-intrik atau kelesuan mengahadapi kemonotonan hidup itu sendiri.

Kenapa begitu? Karena punya kandungan ekstasi tekstual (baca lebih lanjut tulisan Saut Situmorang berjudul Ekstasi ), yang tentu saja itu candu, yang di mana seseorang bisa mendapatkan kenikmatan emosi–katarsis–atas kegamangan .

, sebagai seni purba itu sendiri, juga punya banyak jenis, bentuk atau genre yang di mana -fungainya sebagai ciri khas/realitas zaman, keadaan sosial atau psikologis yang terkandung di dalamnya. Maka, ada baiknya melihat , dengan sebisa-semampunya, tak hanya sekadar susunan , atau sekadar, yang pernah dibicarakan Profesor Sapardi bersama Najwa Shihab, sebagai bunyi semata.

Maksudnya, dalam kaidah seni , tentu saja bunyi itu perlu dan wajib adanya, tapi tidak hanya itu melainkan segala unsur yang telah ditetapkan oleh akademisi atau para awam, junior, bakat , melalui beberapa kesempatan dan keributan di dalamnya.

Seni sebagai satu entitas tersendiri yang ada di dalam , setelah melalui verifikasi dan macam-macam itu, tentunya punya unsur dan perkembangannya tersendiri. Maka, dalam hal ini, sebagai yang bukan dari kalangan dan akademisi , saya mencoba, sebisa-semampunya, melihat Sontoloyo sebagai sebuah gambaran tentang Republik untuk mengingat dan menegaskan ars longa vita brevis.