JakartaInsideCom–Di antara lembar-lembar tua yang nyaris dilupakan zaman, kembali menemukan dirinya. Bukan dalam sorotan festival atau riuh panggung seni, tapi dalam lembaran arsip: , dan catatan diplomasi yang mencerminkan panjang peradaban Bangsa .

April ini, dunia memberi pengakuan. Lima warisan dokumenter resmi terdaftar dalam Memory of the World (MoW) UNESCO—sebuah daftar prestisius yang tak hanya mencatat dokumen penting, tetapi juga mengakui nilainya sebagai milik bersama umat .

Melalui Dewan Eksekutif UNESCO ke-221 yang digelar di Prancis, —bersama Prancis sebagai tuan —menjadi dengan jumlah inskripsi terbanyak dalam siklus 2024–.

Sebuah pencapaian yang tak hanya membanggakan, tetapi juga menyadarkan: sejarah bukan hanya tentang masa lalu, melainkan tentang tanggung jawab hari ini dan masa depan.

, , dan Stabilitas Kawasan

Lima warisan yang terdaftar kali ini merepresentasikan spektrum yang luas—dari kesusastraan sufistik, emansipasi perempuan, hingga diplomasi antarbangsa. Berikut daftar lengkapnya:

  1. Arsip Tarian Khas (1861–1944)
  2. Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian
  3. Karya-karya Hamzah Fansuri (diajukan bersama )
  4. dan Arsip R.A. (diajukan bersama Belanda)
  5. Arsip Lahirnya ASEAN (1967–1976)(diajukan bersama , Singapura, dan Thailand)

Arsip tarian Khas ini merekam jejak estetika istana pada periode 1861 hingga 1944, mencakup dokumentasi koreografi, notasi gending, dan skema pagelaran tari tradisional yang berkembang di bawah kepemimpinan Sri Paduka K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV hingga VII. Lebih dari sekadar catatan sejarah, arsip ini menjadi ketekunan istana dalam merawat warisan gerak dan irama, menghadirkan tarian sebagai penanda peradaban yang menjembatani masa lalu dan masa kini di tengah arus modernitas.

Sang Hyang Siksa Kandang Karesian—sebuah naskah ajaran suci dari kalangan resi Sunda—menawarkan pandangan mendalam tentang etika dan moralitas yang menjunjung tinggi kejujuran serta integritas. Lebih dari sekadar pedoman spiritual, naskah ini merekam lanskap , , dan masyarakat Sunda pada abad ke-16, termasuk dinamika interaksi mereka dengan bangsa lain. Di dalamnya, termuat pula peran penting juru asing atau jurubasa darmamurcaya sebagai mediator kebudayaan dalam menjalin relasi antarbangsa, menunjukkan bahwa diplomasi dan komunikasi lintas telah menjadi bagian integral dari peradaban Nusantara jauh sebelum modernitas datang

Hamzah Fansuri, mistik dari Aceh, kembali berbicara lewat abad ke-17-nya yang menggubah ajaran tasawuf dalam Melayu. Gaya bahasanya menggoda, penuh simbol dan irama. Ia bukan hanya , tapi juga penjelajah spiritual yang puisinya menembus batas zaman dan geografis. Pengakuan terhadap karyanya menjadi penanda penting bagi literatur Melayu sebagai warisan lintas .

Lalu, -surat —dengan tinta halus yang berani menantang patriarki kolonial. Lewat korespondensi dengan tokoh Eropa, Ia menanam benih kebebasan berpikir, yang kelak tumbuh menjadi pohon emansipasi perempuan . Kini, surat itu tak hanya milik bangsa ini, tapi telah diakui sebagai bagian dari suara dunia.

Arsip ASEAN, berbeda dari yang lainnya, menyoroti dimensi geopolitik. Dokumen-dokumen yang mencatat lahirnya kawasan Asia Tenggara itu menggambarkan sebuah momen krusial: saat bangsa-bangsa baru pasca-kolonial memilih stabilitas dan kerja sama ketimbang .

Jejak yang Dilestarikan

Dengan tambahan lima arsip ini, tercatat memiliki 16 warisan dokumenter yang diakui dunia. Sejumlah nama besar telah lebih dulu terdaftar: Babad Diponegoro, Nagarakertagama, La Galigo, Hikayat Aceh, hingga pidato Bung Karno To Build the World Anew.

Semua ini bukan sekadar arsip yang disimpan dalam ruang sunyi. Mereka adalah “ingatan hidup”—cermin yang memungkinkan kita melihat ke dalam diri sendiri sebagai bangsa, sekaligus menengok dunia dengan pandangan yang lebih arif.

Diplomasi Lembut Melalui
Pengakuan dari UNESCO tak datang tiba-tiba. Di baliknya ada upaya panjang: restorasi, dokumentasi, advokasi, dan tentu saja diplomasi .

Proses pengajuan ke Memory of the World bukan sekadar birokrasi, melainkan arena pergaulan global—di mana sejarah, kebudayaan, dan identitas bangsa diuji oleh standar dunia.

menyebut langkah ini sebagai bentuk soft diplomacy—cara halus namun kuat untuk menunjukkan siapa kita di mata dunia. Bahwa bukan sekadar negeri eksotis penuh pantai dan gunung, tapi juga pemilik warisan intelektual dan spiritual yang kaya.

Menjaga yang Rapuh, Merawat yang Bermakna

berikutnya lebih sunyi namun mendesak: menjaga arsip-arsip ini dari kepunahan. Di tengah perubahan iklim, , dan ketidakpedulian generasi, warisan dokumenter kita bisa tergerus tanpa sempat dikenang.

Maka penting untuk mengembalikan mereka ke tengah percakapan publik: di sekolah, di ruang seni, di panggung , dan di meja kebijakan.

Karena pada akhirnya, bangsa yang merawat ingatannya adalah bangsa yang tahu ke mana ia menggerakkan kapan berlayar dan berlabuh.