JakartaInsideCom andalan yang diklaim sebagai solusi pemenuhan bangsa kini tengah diguncang gelombang kritik.

Setelah puluhan MAN 1 Cianjur mengalami gejala keracunan usai menyantap dari Bergizi Gratis (MBG), warganet pun bereaksi keras.

Di jagat media sosial, terutama platform (dulu Twitter), nama itu diubah secara sarkastik menjadi “ Beracun Gratis”. Tagar dan kutipan sindiran berseliweran sejak Selasa (22/4), sehari setelah insiden terjadi.

Akun dengan nama pengguna @jackjackparrr bahkan menyusun kronologi insiden serupa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Dari Nganjuk pada Oktober 2024, Sukoharjo dan Nunukan di Januari 2025, hingga Pandeglang, Waingapu, dan Batang di awal tahun ini.

Cianjur, yang terjadi pada 22 April, menjadi yang terbaru—dan ternyata bukan yang terakhir. Hanya berselang satu hari, pada Rabu (23/4), muncul lagi laporan keracunan massal di Bombana, Sulawesi Tenggara. Dua hari berturut-turut, dua serupa. Komentar netizen mengeras, menyentuh teknis dan politis.

“Korban beracun gratis di Cianjur 175 . Ahli gizinya siapa? Masak semangka secuil plus krimer bisa disebut bergizi?” tulis akun @ilhampid.

Di kolom balasan, perdebatan merebak tentang kualitas porsi, bujet yang terlalu kecil, dan apakah ini benar-benar dirancang berdasarkan prinsip atau sekadar kepentingan popularitas.

Seorang warganet lain, @firaaulll, mencoba memberi . Ia menulis bahwa ahli tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena mereka bekerja berdasarkan bujet sangat terbatas.

“Ahli tuh nyusun unicost dengan budget 8-10 ribu. Logika aja, dapat apa dengan harga segitu? Di rumah aja sekali bisa 15–20 ribu,” katanya.

Kritiknya mengarah ke vendor penyedia bahan dan pengadaan yang lemah dalam pengawasan mutu.

Sebelumnya, sebanyak 38 siswa dilaporkan dilarikan ke rumah karena mual, pusing, dan muntah setelah memakan dari MBG. Mereka tersebar di dua rumah : RSUD Sayang Cianjur dan RS Bhayangkara.

Informasi resmi dari Dinas Kesehatan Cianjur menyebut bahwa semua siswa kini dalam penanganan yang baik, tetapi kepercayaan publik telanjur goyah.

Reaksi tak hanya datang dari para orang tua dan , namun juga bergulir deras di media sosial yang memperlihatkan kemarahan, ejekan, hingga kekhawatiran massal.

Selain itu, respons datang lewat Kepala Badan Nasional, Dadan Hindayana. Ia mengatakan bahwa lembaganya menambahkan satu baru dalam operasional MBG: sisa tidak lagi dibersihkan di , melainkan dikembalikan ke dapur pusat (SPPG) untuk diperiksa.

Langkah ini, katanya, sebagai bagian dari upaya mengusut sumber keracunan dan mencegah kejadian serupa.

Progam MBG hari ini tampaknya telah menjelma jadi cerita tentang baik yang dieksekusi dengan terburu-buru. Di balik niat mulia memberi , tersembunyi persoalan klasik: koordinasi yang longgar, tekanan politik yang besar, dan anggaran yang tak sebanding dengan standar kualitas yang dijanjikan.

Netizen, dalam berbagai komentarnya, tak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga mengingatkan bahwa menyajikan kepada bukan semata logistik dan statistik, tetapi ada tanggung jawab yang melekat pada setiap sendok nasi dan potongan lauk yang disajikan. Karena dalam itu, bukan hanya yang dipertaruhkan, tapi juga kepercayaan.