–Di sebuah kecil bernama Al-Birwa, seorang lahir di tengah sunyi dan ketegangan jajahan.

Ia tumbuh bukan hanya dengan ibu, tetapi juga dengan kesedihan purba yang diam-diam menjelma puisi. itu kelak bernama Mahmoud Darwish, seorang yang bukan hanya menulis puisi, tapi menanam luka dan harapan dalam setiap baitnya.

Pada 1948, tempat ia dilahirkan lenyap oleh perang. Darwish dan keluarganya mengungsi ke , lalu kembali ke air dalam status yang lebih menyakitkan: hidup sebagai warga asing di sendiri.

“Ketika saya menulis tentang zaitun, saya menulis tentang semua yang hilang,” ujar Darwish, sebagaimana dikutip The New York Times. Zaitun dalam puisinya bukan hanya pohon, tetapi ingatan kolektif, akar identitas, dan rasa kehilangan yang tak henti-hentinya tumbuh.

Identitas dalam Sepotong Kertas

Darwish menulis puisi pertamanya di usia sangat muda. Tapi barulah pada 1964, Arab benar-benar mendengar suaranya melalui puisi Identity Card. Ia membuka puisi itu dengan baris tajam dan sederhana: “I am an Arab.”

Bait itu menjalar cepat, dari jalanan Ramallah hingga ke tenda-tenda di Yordania. Puisi itu membuatnya ditahan oleh otoritas Israel dan dimasukkan ke dalam daftar pengawasan. Namun bagi Darwish, puisi bukan senjata. Bukan pula manifesto.

“Puisi adalah refleksi batin tentang absurditas ,” katanya, dikutip dari laman The Guardian. Maka meski puisinya menyoroti , Darwish menolak disebut agitator. Ia menyebut dirinya penjaga , bukan penjaga bendera.

: Tubuh, Kekasih, dan Luka
Seiring , puisi-puisinya berubah. Dari amarah menjadi elegi, dari teriakan menjadi gumam sunyi.

Dalam Prince of Poets yang diterbitkan The American Scholar, disebutkan bahwa dalam puisi Darwish bukan lagi sekadar , melainkan tubuh, luka, bahkan kekasih yang terus memanggil dari jarak dan .

Darwish, mengutip Al Jazeera, menjelma diaspora. Suaranya tak hanya bergema bagi , tetapi juga bagi siapa saja yang tercerabut dari , , dan ibu. Dalam pengasingan, ia membangun sebuah baru: puisi.

Di Al-Zanabeq Al-Bayda‘ (Lili Putih), Darwish menulis tentang bukan sebagai lambang estetika, tetapi simbol yang rapuh namun tetap layak dirawat. Masarat.ps menyebut puisi itu sebagai pengakuan tentang yang genting.

Saat ditanya siapa “pemimpi lili” dalam puisi itu, Darwish menjawab singkat, “Siapa saja yang masih menyimpan harapan, meski semuanya telah runtuh,” sebagaimana dikutip dari Alquds.co.uk.

Lebih Jujur dari

Darwish sempat masuk ke . Ia menulis Deklarasi tahun 1988 dan menjadi anggota PLO. Tapi ia segera mundur. “ membatasi, puisi membebaskan,” sebagaimana ditulis dalam laman The American Scholar.

, menurutnya, terlalu banyak retorika. Puisi, sebaliknya, memberi ruang untuk ragu. Untuk menangis. Untuk bermimpi tanpa harus menjelaskan.

Ia memilih kata, bukan kursi. Ia memilih metafora, bukan strategi. Karena bagi Darwish, puisi bisa merawat luka yang tak sanggup dipetakan oleh dan berita utama.

Di Antara Reruntuhan, Puisi Terus Dibaca
Ketika Darwish wafat pada 2008, ribuan orang berkumpul di Ramallah untuk mengiringi kepergiannya. Tapi yang lebih penting, puisi-puisinya tak pernah ikut mati.

Dari di hingga reruntuhan , dari kafe di Haifa hingga panggung-panggung kecil di Paris, bait-bait Darwish terus dibacakan.

Mengutip Al Jazeera, Darwish adalah bagi mereka yang kehilangan . Darwish adalah bagi mereka yang kehilangan .

Darwish tidak menulis untuk menjawab. Ia menulis agar kita terus bertanya. Dan barangkali, karena itulah puisinya tetap hidup—di yang luka, di jiwa yang masih menyimpan mimpi sejati.