JakartaInsideCom – Aliansi Gerakan Peduli Hukum (AGPH) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini untuk meminta keterbukaan informasi publik terkait kinerja KPK dalam menangani sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang diduga mangkrak.
Dalam pernyataannya, AGPH menilai KPK kurang transparan dalam memberikan informasi kepada publik, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002.
Pasal 5 huruf b dan Pasal 40 ayat (1) serta ayat (3) dalam UU tersebut menegaskan pentingnya akuntabilitas dan keterbukaan lembaga antirasuah kepada masyarakat.
Christian Sihite, perwakilan AGPH, mengkritisi langkah KPK yang dinilai lebih banyak menangani kasus-kasus kecil dibandingkan kasus besar yang memiliki dampak signifikan terhadap negara. Ia menyebut sejumlah kasus besar yang hingga kini dinilai belum tuntas, seperti:
- Dugaan korupsi Bank Century
- Dugaan suap dalam pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia
- Dugaan suap proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu
- Dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan
- Dugaan korupsi proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut
- Dugaan korupsi proyek Hambalang
- Dugaan korupsi di Garuda Indonesia
- Dugaan laporan analisis PPAT dalam kasus pertambangan hingga pemerintah
- Dugaan korupsi sektor pertambangan
- Dugaan gratifikasi oleh mantan anak pejabat negara
SP3 Bukan Akhir Penanganan Kasus
Christian juga menyoroti penerapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK, yang mulai diberlakukan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019.
Meski SP3 merupakan langkah hukum yang sah, ia menegaskan bahwa penanganan kasus tidak seharusnya berhenti di situ.
“Pasal 40 menyatakan SP3 dapat dibatalkan bila ditemukan alat bukti baru melalui penetapan praperadilan. Artinya, SP3 bersifat sementara dan bukan putusan yang bersifat inkracht,” ujar Christian.
Ia mendesak KPK untuk terus menggali bukti-bukti baru dan melanjutkan investigasi kasus yang telah diterbitkan SP3. Menurutnya, penerbitan SP3 tidak boleh menjadi alasan bagi KPK untuk menutup mata terhadap dugaan kasus korupsi besar.
Dalam kesempatan yang sama, Noverianus Samosir dari AGPH menekankan agar KPK kembali pada prinsip dasar sebagai lembaga yang profesional dan independen dalam menangani kasus korupsi.
“Kami meminta KPK untuk bekerja sesuai asas equality before the law (persamaan di depan hukum), tanpa tebang pilih,” tegasnya.
AGPH berharap KPK dapat menjawab tuntutan masyarakat dan menunjukkan komitmen dalam pemberantasan korupsi secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.