Kakawin Sutasoma mengisahkan seorang pangeran bernama Sutasoma yang berjuang untuk membawa kedamaian dan harmoni di tengah perbedaan agama dan kepercayaan yang ada pada masa itu.
Dalam salah satu baitnya, Mpu Tantular menulis, “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa,” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada dharma yang mendua.”
Hal ini mencerminkan filosofi toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan, serta keyakinan bahwa keberagaman dapat hidup berdampingan secara harmonis.
2. Penerapan dalam Konteks Nasional
Konsep Bhinneka Tunggal Ika diangkat dan diresmikan sebagai semboyan nasional Indonesia saat perumusan dasar negara.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, menyadari pentingnya semboyan yang dapat mengakomodasi berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.
Mereka memilih frasa ini sebagai bagian dari lambang negara Garuda Pancasila untuk menggambarkan semangat persatuan dalam keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, dengan lebih dari 700 bahasa daerah dan berbagai agama dan kepercayaan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi landasan moral dan etika dalam mengelola keberagaman ini. Konsep ini menegaskan bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam suku, budaya, dan agama, seluruh rakyat Indonesia tetap satu dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Implementasi dalam Kehidupan Berbangsa
Dalam kehidupan sehari-hari, Bhinneka Tunggal Ika diterapkan melalui berbagai kebijakan dan program yang bertujuan untuk menjaga persatuan dan mencegah disintegrasi.
Contoh nyata dari penerapan konsep ini dapat dilihat dalam upaya pemerintah untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau golongan.