Ketidakpuasan itu akhirnya meledak. selama lima hari, 17–21 Februari, jadi bukti bahwa —terutama —sudah muak.

13 tuntutan diajukan, dan Sekretaris , , turun tangan.

Puncaknya, pada 21 Februari , bukan hanya yang turun ke , tapi juga koalisi sipil.

Ini bukan sekadar gerakan akademik, tapi bentuk kegelisahan kolektif. sudah menandatangani tuntutan di hari sebelumnya, tapi satu pertanyaan tetap menggantung: apakah ini nyata atau sekadar sementara?

Lucu kalau dipikir-pikir, sebenarnya bisa mencegah semua ini jika lebih peka dan tidak sibuk dengan dramanya sendiri.

Tapi ya begitulah, kita yang hidup dalam ketidakpastian hanya bisa terus berimajinasi tentang ideal.

Lalu, dalam kita tentang bangsa yang lebih baik, apakah masih jadi unsur utama? Atau justru sudah saatnya kita menguji ulang relevansinya?

Perspektif

sebagai sebuah nama yang melekat di benak setiap warganya. Tapi kalau ada yang bertanya, apa bukti nasionalismemu?” setiap orang bisa memberikan yang beragam.

pernah berkata, identitas sebagai warga bukan cuma asal-usul, tapi juga tentang kontribusi yang kita berikan untuk negeri ini.

, menurutnya, bukan sekadar kebanggaan, melainkan nyata.

Lalu, bagaimana idealisme dan berjalan bersama? Menurut Kamus Besar (KBBI), idealisme adalah hidup atau berusaha hidup sesuai dengan cita-cita dan patokan yang dianggap sempurna.

Sementara adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan sendiri. Bisa nggak keduanya selaras? Bisa.

Selama cita-cita seseorang tetap membawa dampak positif bagi , tetap hidup, terlepas dari di mana mereka berada.

Bahkan bagi yang tinggal di atau berpindah , nilai-nilai yang mereka bawa tetap mencerminkan .

Tapi apakah sesederhana itu? Apakah kontribusi cukup menjadi ukuran, sementara setiap orang mengekspresikan pada bangsanya dengan berbeda?

Lebih jauh lagi, bisakah benar-benar diwujudkan sesuai dengan kita tentang yang ideal? Atau justru, itu sendiri perlu dipertanyakan ulang?

: Dilema Bekerja di : Pengkhianatan atau Pilihan Logis?