Ketidakpuasan itu akhirnya meledak. Aksi Indonesia Gelap selama lima hari, 17–21 Februari, jadi bukti bahwa masyarakat—terutama mahasiswa—sudah muak.
13 tuntutan diajukan, dan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, turun tangan.
Puncaknya, pada 21 Februari 2025, bukan hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tapi juga koalisi masyarakat sipil.
Ini bukan sekadar gerakan akademik, tapi bentuk kegelisahan kolektif. Mensesneg sudah menandatangani tuntutan mahasiswa di hari sebelumnya, tapi satu pertanyaan tetap menggantung: apakah ini solusi nyata atau sekadar pemadam kebakaran sementara?
Lucu kalau dipikir-pikir, Pemerintah sebenarnya bisa mencegah semua ini jika lebih peka dan tidak sibuk dengan dramanya sendiri.
Tapi ya begitulah, kita yang hidup dalam ketidakpastian hanya bisa terus berimajinasi tentang negara ideal.
Lalu, dalam imajinasi kita tentang bangsa yang lebih baik, apakah nasionalisme masih jadi unsur utama? Atau justru sudah saatnya kita menguji ulang relevansinya?
Perspektif Nasionalisme
Indonesia sebagai sebuah nama yang melekat di benak setiap warganya. Tapi kalau ada yang bertanya, apa bukti nasionalismemu?” setiap orang bisa memberikan jawaban yang beragam.
Bung Hatta pernah berkata, identitas sebagai warga Indonesia bukan cuma soal asal-usul, tapi juga tentang kontribusi yang kita berikan untuk negeri ini.
Nasionalisme, menurutnya, bukan sekadar kebanggaan, melainkan aksi nyata.
Lalu, bagaimana idealisme dan nasionalisme berjalan bersama? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), idealisme adalah hidup atau berusaha hidup sesuai dengan cita-cita dan patokan yang dianggap sempurna.
Sementara nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Bisa nggak keduanya selaras? Bisa.
Selama cita-cita seseorang tetap membawa dampak positif bagi Indonesia, nasionalisme tetap hidup, terlepas dari di mana mereka berada.
Bahkan bagi yang tinggal di luar negeri atau berpindah kewarganegaraan, nilai-nilai yang mereka bawa tetap mencerminkan Indonesia.
Tapi apakah nasionalisme sesederhana itu? Apakah kontribusi cukup menjadi ukuran, sementara setiap orang mengekspresikan cinta pada bangsanya dengan cara berbeda?
Lebih jauh lagi, bisakah nasionalisme benar-benar diwujudkan sesuai dengan imajinasi kita tentang negara yang ideal? Atau justru, nasionalisme itu sendiri perlu dipertanyakan ulang?