Di tengah maraknya tagar #KaburAjaDulu, Pernah kepikiran nggak, kalau semua yang kita anggap “bangsa” itu sebenarnya cuma hasil dari imajinasi?
Kedengerannya aneh, tapi kalau dipikir-pikir, setiap ide besar pasti berawal dari imajinasi—termasuk konsep berbangsa.
Masalahnya, setiap generasi membayangkan bangsa ini dengan cara berbeda. Generasi baru melihat “cinta tanah air” dengan cara berbeda—apa yang dulu terasa mutlak kini tak lagi relevan.
Zaman dan pengalaman sosial terus membentuk ulang konsep berbangsa, menciptakan makna yang lebih sesuai dengan realitas mereka.
Jika dulu nasionalisme berarti rela mati demi negara, kini bisa berarti melawan ketidakadilan yang menimpa masyarakat.
Nasionalisme: Imajinasi atau Kenyataan?
Benedict Anderson menjelaskan dalam bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983) bahwa masyarakat sebenarnya hanya membayangkan bangsa sebagai sebuah komunitas.
Maksudnya? Bangsa itu bukan sesuatu yang nyata secara fisik seperti gunung atau lautan, tapi lebih ke konsep yang kita sepakati bersama.
Dengan kata lain, nasionalisme bukan cuma soal bendera atau lagu kebangsaan, tapi lebih ke gimana kita memaknai kebangsaan itu sendiri.
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran saat membayangkan sebuah bangsa? Apakah nasionalisme selalu jadi elemen wajib? Atau mungkin, bisakah sebuah bangsa eksis tanpa embel-embel nasionalisme?
Kita semua berangkat dari ketidaktahuan—dan dari sana, lahir kegelisahan. Kita membayangkan dunia yang lebih ideal, lebih adil, lebih layak dihuni.
Tapi begitu realita menampar, kita sadar bahwa harapan sering kali berbenturan dengan kenyataan.
Kita ingin hidup layak di tanah sendiri, punya masa depan yang jelas. Tiap hari, berita yang bikin pesimis terus bermunculan—ekonomi yang tak menentu, kebijakan yang terasa absurd, dan politik yang berjalan seperti drama tanpa akhir.
Dari isu anggaran negara yang tak efisien hingga reshuffle kabinet yang lebih banyak gimmick ketimbang solusi.