Banyak orang menghadapi dilema: mengejar peluang karier yang lebih baik di luar negeri atau bertahan dengan keterbatasan sistem di dalam negeri.
Tapi pertanyaannya, apakah bekerja di luar negeri berarti seseorang kehilangan nasionalisme? Atau justru nasionalisme yang sempit telah membatasi kebebasan individu untuk berkembang?
Faktanya, banyak orang pindah bukan karena kehilangan cinta pada Indonesia, tetapi karena negara lain lebih menghargai keahlian mereka.
Perusahaan dalam negeri membatasi lapangan kerja, menetapkan standar rekrutmen yang sering tidak masuk akal, dan mengabaikan peluang di beberapa sektor.
Gaji menjadi salah satu alasan terbesar—perusahaan luar negeri membayar profesi tertentu dengan layak, sementara Indonesia masih memberikan upah minim untuk keahlian yang sama.
Ironisnya, banyak orang justru mencap mereka yang pergi sebagai “tidak nasionalis.” Padahal, kalau pemerintah lebih serius membuka peluang, menyediakan fasilitas, dan memberikan apresiasi yang layak, mereka mungkin tidak perlu pergi.
Nasionalisme bukan soal bertahan di tempat, tapi soal kontribusi—di mana pun itu.
#KaburAjaDulu: Pendidikan, Lapangan Kerja, dan Kebijakan yang Berubah-ubah
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di Indonesia bukan cuma soal lapangan kerja yang terbatas, tapi juga kualifikasi yang sering kali tidak masuk akal. Namun, masalah ini lebih dalam dari sekadar rekrutmen—akar utamanya ada di sistem pendidikan yang masih jauh dari ideal.
Pendidikan di Indonesia masih belum merata, dan lebih parahnya lagi, sistemnya terus berubah tanpa arah jelas.
Setiap kali pemerintahan berganti, mereka merombak kurikulum dengan dalih menyesuaikan zaman. Padahal, pemerintah perlu menyempurnakan sistem yang sudah ada, bukan sekadar menggantinya.
Pergantian yang terlalu sering justru menunjukkan ketidakpastian dalam kebijakan pendidikan, yang pada akhirnya berdampak pada kesiapan tenaga kerja.
Ketika sistem pendidikan yang tidak stabil ini bertemu dengan minimnya lapangan kerja dan rendahnya apresiasi terhadap tenaga kerja, banyak individu berbakat akhirnya memilih keluar negeri.
Ironisnya, alih-alih berbenah, pemerintah justru lebih sering menyalahkan mereka yang pergi hingga ramai tagar #KaburAjaDulu.