Di tengah maraknya #KaburAjaDulu, Indonesia bangga dengan politik luar negeri “Bebas-Aktif,” yang seharusnya membuka peluang kerja sama dengan berbagai negara.
Tapi kenyataannya? Paspor Indonesia tetap lemah di kancah internasional, membatasi mobilitas warganya untuk mencari peluang di luar negeri.
Jika Indonesia benar-benar menerapkan prinsip “Bebas-Aktif,” pemerintah harus memperkuat hubungan diplomatik agar masyarakat mendapat akses global yang lebih luas.
Namun, kenyataannya, kebijakan yang ada justru membatasi kesempatan dan menyulitkan individu berbakat untuk berkembang di luar negeri.
Menurut data dari Henley & Partners, pada tahun 2025, paspor Indonesia menempati peringkat ke-66 secara global, dengan akses bebas visa ke 76 negara.
Sebagai perbandingan, paspor Singapura menduduki posisi teratas, memungkinkan warganya mengunjungi 195 negara tanpa visa.
Kesenjangan ini mencerminkan perbedaan dalam kebijakan luar negeri dan hubungan diplomatik antara negara–negara tersebut.
Keterbatasan akses paspor Indonesia dapat menghambat mobilitas global warganya, membatasi peluang kerja, pendidikan, dan pengalaman internasional.
Sebaliknya, kekuatan paspor Singapura menunjukkan efektivitas diplomasi dan perjanjian bilateral yang kuat, memberikan keuntungan signifikan bagi warganya dalam berbagai sektor.
Daripada terus menyalahkan mereka yang memilih pergi, pemerintah perlu berbenah.
Dengan sistem yang lebih stabil, apresiasi yang lebih tinggi terhadap tenaga kerja, dan akses global yang lebih terbuka, masyarakat tak perlu lagi terjebak dalam dilema antara nasionalisme dan kesempatan.
Mereka tetap bisa berkontribusi, di mana pun berada.
*)Dwiantono Asrun merupakan mahasiswa semester akhir IULO dan kontributor JakartaInsideCom.