JakartaInsideCom– Elon Musk kembali membuat kejutan dengan menawarkan $97,4 miliar (sekitar Rp1.586 triliun) untuk mengakuisisi OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT. Namun, tawaran ini langsung ditolak oleh CEO OpenAI, Sam Altman, yang membalas dengan sindiran pedas di postingan X miliknya:
“Tidak, terima kasih. Tapi kalau kamu mau, kami bisa beli Twitter (X) dengan $9,74 miliar.”
Sindiran ini semakin memanaskan perseteruan lama antara Musk dan OpenAI.
Musk berusaha mengambil alih OpenAI dengan mengajukan tawaran melalui pengacaranya yaitu Marc Toberoff, dengan rencana membeli seluruh aset OpenAI dan menggabungkannya dengan xAI, startup AI miliknya. Tawaran ini didukung oleh sejumlah investor, termasuk Baron Capital Group dan Valor Management.
Namun, tawaran tersebut jauh di bawah valuasi OpenAI yang mencapai $157 miliar (per Oktober 2024) dan berpotensi naik hingga $300 miliar dalam negosiasi terbaru.
Musk menuduh OpenAI meninggalkan misi nirlaba dan beralih ke model bisnis komersial, yang menurutnya mengorbankan kepentingan publik demi keuntungan pribadi.
Musk kini berusaha menggugat OpenAI di Pengadilan California untuk menghentikan peralihannya ke model bisnis berbasis laba atau komersil. Namun, OpenAI bersikeras bahwa langkah ini diperlukan untuk mendukung pengembangan AI seperti GPT-5.
Tawaran Musk sebesar $97,4 miliar jauh di bawah valuasi OpenAI yang mencapai $157 miliar pada Oktober 2024 dan berpotensi naik hingga $300 miliar dalam negosiasi pendanaan yang sedang berlangsung. Namun, melihat rekam jejaknya, perseteruan ini bisa saja berlanjut ke babak baru.
Dari perspektif ekonomi, tawaran Musk mencerminkan kombinasi antara strategi sinergi operasional dan manuver kompetitif untuk menguasai pasar AI. Namun, perbedaan valuasi yang signifikan ($202,6–242,6 miliar) serta konflik tata kelola menunjukkan bahwa akuisisi ini lebih bersifat taktis dalam rivalitas Musk-Altman daripada sekadar keputusan ekonomi rasional.
Teori klasik Merger & Akusisi (M&A) mengenai sinergi dan valuasi perlu disesuaikan dengan dinamika industri AI, di mana nilai perusahaan tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari kontrol strategis atas teknologi kritis.
Bagaimana menurutmu? Apakah ini hanya strategi Musk, atau benar-benar niat serius?