Status Jakarta sebagai ibukota negara dari Republik Indonesia selesai sudah. Pasca ditetapkannya Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur, sejak itu ibukota Indonesia berpindah. Hal ini dikuatkan pasal 41 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Lepasnya citra sebagai Ibukota negara membawa konsekuensi tidak mudah. tetapi keputusan sudah bulat, dan kita harus menghormati realitas yang ada.
Setelah selesai lepas masa Ibukota, menjadi pertanyaan bagaimana nasib Jakarta ke depan? Sebagai daerah yang kaya dengan potensi sumber daya keuangan, tentu saja nasib Jakarta tetap berjalan baik. Kita semua tahu, Jakarta selama ini terlanjur melekat sebagai kota pusat industri dan perekonomian nasional. Banyak pusat perbelanjaan, hiburan, gedung bertingkat dan infrastruktur yang mendukung denyut nadi kehidupan Jakarta.
Secara ekonomi, Jakarta tidak akan kehilangan fungsinya dalam mendukung ekonomi nasional. Sementara pemetaan politik, Jakarta diprediksi akan tetap menjadi episentrum perpolitikan nasional. Sebab pemindahan status Ibukota negara tidak akan menghilangkan magis perpolitikan Jakarta. Sebagai contoh, wacana pemilihan gubernur DKI Jakarta saja masih menjadi isu nasional yang menarik. Apa yang terjadi di Jakarta memungkinkan sekali akan tetap jadi barometer politik di Indonesia.
Dengan perpindahan Jakarta, justru kita akan melihat sejauhmana efektivitas dari alasan mendasar kepindnahan ibukota. Sebab selama ini diyakini berpindahnya Ibukota untuk mengurangi kepadatan penduduk Jakarta. Konsekuensi logis dari alasan itu dapat dilihat dari penurunan jumlah penduduk, tingkat kemacetan dan kriminalitas yang marak di Jakarta. Jika benar alasan tersebut, maka seharusnya penduduk Jakarta, kemacetan dan kriminalitas Jakarta akan semakin berkurang.
Andai benar terjadi ke depan penduduk Jakarta berkurang, maka tentu pemerintah pusat layak berbangga karena terjadi pemerataan penduduk. Sementara kemacetan apakah benar berkurang? Sebab kita tahu bersama pemerintah ingin kemacetan berkurang, tapi belum mampu secara serius menekan daya beli masyarakat terhadap kendaraan baik motor dan mobil. Sementara kriminalitas apakah berkurang? Layak dinanti, sebab kejahatan cenderung selalu ada dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja selama ada peluang dan kesempatan untuk niat dan bertindak jahat.
Penulis meyakini, alasan pengurangan jumlah penduduk seharusnya berdampak positif kepada struktur kondisi sosial-budaya masyarakat. Tetapi jika persoalan kemacetan dan kejahatan tidak berkurang, kita layak bertanya dan merefleksikan secara kolektif, benarkah kebijakan memindahkan ibukota negara?