—Di tengah yang didikte oleh kecepatan layar dan arus informasi tanpa henti, Hari Sedunia—yang jatuh setiap 23 —datang sebagai pengingat senyap bahwa sebelum segala sesuatu diunggah, ia lebih dahulu ditulis.

menetapkan Hari Sedunia dan Hak Cipta pada 1995, menjadikan tanggal wafat William Shakespeare dan Miguel de Cervantes sebagai simbol penghormatan terhadap warisan literasi . Namun di , peringatan ini justru memperlihatkan sebuah paradoks yang lama: hadir, tetapi tidak akrab. Ia dicetak, tetapi jarang dibaca.

Menurut GoodStats, 6 dari 10 tidak membaca satu pun dalam sebulan terakhir. Ini bukan hanya minat—tetapi literasi yang timpang. memang memiliki gedung Perpustakaan tertinggi di , namun angka itu tak menjamin tingginya membaca.

Padahal, potensi literasi tak bisa disepelekan. Sastrawan seperti dengan Tetralogi Buru telah membuktikan bahwa bangsa mampu menembus panggung dan direkomendasikan sebagai bahan ajar.

Namun, literasi tidak hidup dalam ruang pencapaian individual. Ia bergantung pada dukungan sistemik. Sejauh ini, fiskal terhadap masih belum berpihak pada . kertas, royalti penulis, dan distribusi ke luar kota besar masih menjadi yang lama.

Hari Sedunia seharusnya tidak hanya menjadi selebrasi atas keberadaan , tetapi juga atas relasi kita dengannya. bukan sekadar produk , melainkan hak kultural yang mestinya bisa diakses luas, tanpa hambatan geografis maupun .

Di lain, Hari dirayakan dengan nyata: potongan , pembebasan atas , hingga distribusi bagi dan . bisa belajar dari praktik-praktik ini—bukan untuk meniru secara mentah, tapi untuk memahami bahwa literasi tidak akan tumbuh tanpa keberpihakan .