Profesor Ronny juga menjelaskan jenis suara tertentu yang disebut “Geysering narial,” yaitu suara yang berasal dari hidung buaya saat mereka berada di dalam air dan menyemprotkan air ke udara. Biasanya, jenis suara ini terjadi saat buaya sedang dalam proses kawin.
Menurut Profesor Ronny, penemuan berbagai jenis suara buaya dan pemahaman tentang makna di balik setiap suara ini membuka bidang baru dalam penelitian. Informasi ini dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek, seperti ukuran buaya, perilaku, status kesehatan, dan lainnya.
“Semakin menarik ketika kita mencoba menjawab pertanyaan mengapa buaya yang hidup saat ini sering membuat suara dengan menggunakan media air daripada langsung dari organ vokal mereka? Penggunaan air dan penggabungannya dengan suara dan gerakan adalah contoh adaptasi luar biasa buaya, yang memungkinkannya bertahan hidup dan berkembang biak,” terangnya.
Sebagai catatan, dalam pohon evolusi yang bercabang sekitar 240 juta tahun yang lalu, buaya saat ini adalah turunan dari nenek moyangnya, yaitu Archosaurus.
Para peneliti setuju bahwa burung berevolusi sekitar 66-69 juta tahun yang lalu untuk mengembangkan syrinx, sebuah organ yang memungkinkan burung menghasilkan suara yang lebih kompleks dan digunakan sebagai alat komunikasi.
Penemuan ini, menurut Profesor Ronny, dapat membuka pintu untuk menjelajahi misteri dunia buaya lebih dalam, membantu kita memahami mengapa buaya, yang telah ada sejak zaman dinosaurus, masih bertahan hingga saat ini.
“Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ekstrem memang salah satu kunci dalam menjaga keberadaan buaya di bumi, tetapi mungkin ada faktor lain seperti keterampilan berkomunikasi yang juga memainkan peran yang sangat besar,” jelas Profesor Ronny.
Keberhasilan para peneliti Australia dalam mengungkap misteri bahasa buaya akan menjadi aset berharga dan sangat penting untuk mendukung program konservasi, baik di lingkungan penangkaran maupun di habitat alam liar buaya.