Paska berakhirnya status Republik Indonesia, nama Jakarta terus menjadi perbincangan. Baik kalangan politisi, pejabat negara, sampai kelompok masyarakat ramai membahasnya. Wacana yang berkembang juga beragam dan menghadirkan banyak pandangan kekinian. Ada senator mengusulkan Jakarta dipimpin orang . Sebagai penduduk asli, Orang berhak mendapatkan posisi baik maupun Wakil . Wacana ini muncul tentu saja berkaitan dengan momentum Pilkada Kekhususan Jakarta.

Ada pula wacana menjadikan Jakarta sebagai legislatif, dimana para legislator nanti berkantor di Jakarta. Mereka terpisah dengan posisi lembaga lainnya yang berkantor di Negara yang berlokasi di Kalimantan Timur. Pandangan ini ingin memisahkan tiga unsur penting negara. Lembaga eksekutif dipusatkan di , legislatif di Jakarta, dan yudikatif di Jakarta atau lainnya. Keinginan pemecahan fungsi lembaga kenegaraan dengan berbasis tertentu dianggap efektif dalam melaksanakan fungsi masing-masing lembaga. Muncul keinginan yang berpindah hanya satu elemen, yaitu eksekutif baik , Wakil dan para jajaran sebagai pembantu .

Sebagai wacana, kita merasakan wajar saja muncul berbagai demikian. Persoalannya kemudian, apakah wacana itu sudah dikaji mengenai dampak baik buruk, pertimbangan akademisnya dari berbagai disiplin keilmuan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Pandangan putra misalnya, sah-sah saja dalam di demokrasi. Tetapi persoalan kemudian, masihkah relevan mewacanakan prinsip kelokalan dalam Jakarta sebagai yang multikulturalisme? Apakah tidak menjadi lebih baik jika kita mengusulkan Jakarta bebas dipimpin suku manapun selama memenuhi standar kompetensi, integritas, dukungan dan masyarakat, serta memiliki rekam jejak yang baik? Bagaimanapun di era demokrasi selayaknya mengedepankan prinsip meritokrasi tanpa disekat wacana kesukuan, dimana terbuka pula kemungkinan suku dan suku lainnya yang memenuhi kelayakan di atas menjadi Jakarta lima tahun ke depan.

Menyoal wacana pembagian fungsi kenegaraan berdasarkan demografi, kita layak bertanya apakah nantinya kenegaraan tidak akan tersekat jarak saat dibutuhkan langsung antar lembaga negara? Kita memang menyadari adanya fasilitasi yang mampu memecah kebuntuan ruang dan waktu pertemuan. Tetapi saat pembahasan sebuah produk legislasi yang perlu mempertemukan unsur pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan perwakilan rakyat atau , sebagai unsur legislatif, apakah harus mengandalkan ? Tinjauan lainnya, dalam perspektif hukum kita bisa mempertimbangkan pandangan Ekawestri Prajwaliata Widiati Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) . Menurutnya pemisahan itu justru akan mempersulit koordinasi antar lembaga kenegaraan dalam memproduksi produk legislasi dan memperlemah eksistensi ibu sebagai ruang berputar segala aktivitas utama.

Sekarang di era belum ada keputusan yang legal – konstitusional, dinamika wacana menjadi sesuatu yang legal dan diwajarkan. Tetapi para politisi dan senator selayaknya mempertimbangkan banyak dan membutuhkan kajian akademis mendalam. Jangan sampai wacana yang muncul hanya mempertimbangkan pertimbangan dan kepentingan kelompok. Sebab kondisi ini amat beresiko terhadap keberlangsungan Jakarta sebagai khusus maupun sebagai negara. Selanjutnya, mari kita melihat sejauhmana keberpihakan senator, legislator, politisi, pejabat negara dan kelompok masyarakat lain dalam memandang kepentingan Jakarta di masa mendatang. Kita berharap ada segar dan komperehensif dalam mempertimbangkan status dan Jakarta di masa depan.