JakartaInsideCom–Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi sistem peradilan di Indonesia, menyusul pengungkapan kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang menyeret hakim, pengacara, dan panitera dari tiga pengadilan negeri di Jakarta.
Dalam podcast Terus Terang Mahfud MD yang tayang di YouTube pada Selasa (22/4/2025), Mahfud menyebut kasus ini sebagai potret rusaknya ekosistem peradilan nasional.
“Korupsi, kolusi, jual beli perkara, ijon hakim, jaksa, polisi—semua bercokol di pengadilan. Ini jorok,” tegas Mahfud.
Kasus yang diungkap Kejaksaan Agung itu melibatkan tiga korporasi besar dan aparat peradilan dari PN Jakarta Selatan, PN Jakarta Pusat, serta PN Jakarta Utara.
Dugaan korupsi bermula dari pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya—publik mengenalnya sebagai kasus “mafia minyak goreng”.
Mahfud mengaitkan skandal ini dengan kasus lain yang masih hangat dalam ingatan publik: vonis bebas terhadap Ronald Tannur di Surabaya. Saat itu, putusan hakim dibela oleh pimpinannya, termasuk Mahkamah Agung. Namun, kemudian terbukti ada permainan di balik layar.
“Kasus ini bukan sekadar penyimpangan individu. Ini soal sistem yang gagal menjaga integritas,” ujarnya.
Pengkhianatan di Tengah Perlawanan
Menariknya, salah satu tersangka dalam kasus CPO, hakim Djumyanto, pernah menjadi simbol harapan perubahan. Pada 2012, ia bersama 20 hakim muda datang ke Komisi Yudisial (KY) untuk menyuarakan perlunya revolusi integritas di Mahkamah Agung.
“Tapi sekarang, dia menjadi bagian dari yang dulu ingin dia perangi,” kata Mahfud. Ia menilai, niat baik saja tidak cukup dalam sistem yang sudah “busuk dari hulu ke hilir”.
Mahfud juga mengkritik lemahnya kewenangan Komisi Yudisial. “Sudah kita bentuk KY untuk mengawasi hakim, tapi rekomendasinya dilecehkan. Kewenangannya diamputasi,” ujarnya.
Teladan dari Masa Lalu dan Tindakan Mendesak ke Depan
Dalam pandangannya, reformasi peradilan butuh keberanian politik. Mahfud mencontohkan respons cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membentuk Tim 8 untuk menyelidiki kriminalisasi pimpinan KPK.
Ia juga menyebut langkah Presiden Jokowi yang membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum sebagai langkah positif, meskipun belum menyentuh akar persoalan.
Kini, Mahfud menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah luar biasa. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membenahi sektor-sektor hukum yang genting.
“Presiden bukan hanya kepala negara, tapi juga penanggung jawab tertinggi penegakan hukum. Polri, Kejaksaan, dan KPK adalah perpanjangan tangannya,” tegas Mahfud.
Ia mendorong pembenahan menyeluruh, mulai dari proses penunjukan ketua pengadilan hingga pembukaan kasus–kasus yang tertunda.
“Saya punya daftar panjang kasus–kasus yang mengendap. Kalau perlu, kita ajukan secara resmi ke Presiden,” ujarnya.
Refleksi dan Jalan Panjang Pembaruan
Apa yang diungkap Mahfud bukan semata kritik, tapi juga alarm bagi sistem hukum yang tengah kehilangan kepercayaan publik.
Kerapuhan integritas lembaga peradilan, bila dibiarkan, bisa mengguncang fondasi negara hukum itu sendiri.
Indonesia pernah punya momen-momen ketegasan politik dalam menyelamatkan institusi hukum. Kini, publik menanti apakah pemerintahan Prabowo akan meneruskan warisan keberanian itu—atau justru membiarkan hukum menjadi panggung dagang perkara.