Analisa Debat Ketiga Oleh : Saidiman Ahmad, Pengamat & Manager SMRC

Saya mengikuti debat terakhir pemilihan semalam, 17 November , dari studio 2 TVRI.

Saya diminta TVRI menemani Suryono Herlambang, peneliti Centropolis dan Untar, dan Monica Kumalasari, pakar gestur dan mikroekspresi, untuk membahas seputar substansi dan jalannya debat.

Penjelasan Monica Kumalasari mencuri perhatian saya. Dalam debat ini, menurut pengamatannya, menunjukkan ekspresi anger (marah) yang kemudian disusul dengan ekspresi fear (takut).

Sementara Anung lebih menunjukkan ekspresi superior. Ada pun , dia lebih banyak menunjukkan ekspresi netral atau nothing to lose.

Kesimpulan ini diambil dari pengamatan pada mikroekspresi yang ditunjukkan melalui pergerakan wajah para calon.

Di sela-sela acara, saya bertanya apakah mungkin orang bisa menyembunyikan ekspresinya atau menunjukkan ekspresi palsu?

Dia jawab tidak bisa, karena mikroekspresi justru menunjukkan sesuatu di balik yang terlihat atau coba diperlihatkan.

Saya sama sekali kosong pengetahuan tentang mikroekspresi ini. Namun yang menarik adalah bahwa kesimpulan Monica Kumalasari mirip dengan apa yang saya amati sepanjang debat. sejak awal melancarkan kritik yang mendasar .

Dalam setiap kesempatan bicara, dia selalu mengulang frase “ketidakadilan,” terutama ketidakadilan tata ruang.