JakartaInside.Com – Siapa tak kenal Pramoedya Ananta Toer? Sastrawan besar Indonesia ini bukan sekadar penulis, tetapi juga saksi sejarah dan pejuang kata-kata.
Pada 6 Februari 2025, dunia sastra Indonesia merayakan 100 tahun kelahirannya. Sepanjang hidupnya, Pram, begitu ia akrab disapa, terus menulis meskipun berkali-kali mengalami represi.
Masa Kecil dan Nama Pilihannya Sendiri
Pram lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Nama aslinya, Pramoedya Ananta Mastoer, ia ubah sendiri dengan menghapus “Mas” yang dianggapnya feodal. Ia pun menetapkan “Toer” sebagai nama keluarga.
Ayahnya seorang guru dan aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), sementara ibunya berasal dari keluarga Islam pesisir. Pendidikan Pram tak berjalan mulus. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah dan belajar langsung dari ayahnya. Namun, akhirnya ia menempuh pendidikan teknik radio di Surabaya.
Dari Pejuang ke Penulis di Balik Jeruji
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pram kembali ke Blora dan mencari nafkah dengan berjualan tembakau. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Cikampek.
Namun, pada 1947, ia ditangkap oleh tentara Belanda karena aktif menulis majalah perlawanan. Di penjara, ia mulai serius menulis. Dua karyanya, Perburuan dan Keluarga Gerilya, lahir dari pengalaman tersebut.
Dibuang ke Pulau Buru
Setelah bebas, Pram terus berkarya. Ia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah peristiwa G30S 1965, ia ditangkap tanpa pengadilan dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun.
Meski dilarang menulis, ia tetap berkisah secara lisan kepada sesama tahanan. Dari pengasingan inilah lahir Tetralogi Buru, yang menggambarkan perjuangan seorang pribumi menghadapi kolonialisme.
Warisan Seorang Pejuang Kata-Kata
Pram dibebaskan pada 1979, tetapi tetap diawasi ketat. Buku-bukunya dilarang di Indonesia, meski mendapat pengakuan internasional. Ia menerima berbagai penghargaan, seperti Ramon Magsaysay Award (1995) dan Norwegian Author’s Union Award (2004).
Ia wafat pada 30 April 2006, meninggalkan lebih dari 50 buku yang telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Hingga kini, karyanya tetap menginspirasi, membuktikan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata melawan ketidakadilan.
Beberapa Karya Terkenal Pramoedya Ananta Toer
- Bumi Manusia (1975) – Perjuangan seorang pemuda pribumi melawan kolonialisme.
- Jejak Langkah (1985) – Kisah transformasi Minke menjadi aktivis politik.
- Rumah Kaca (1988) – Bab terakhir Tetralogi Buru yang menggambarkan represi kolonial.
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988-1995) – Memoar kehidupannya sebagai tahanan politik.
- Perburuan (1950) – Kisah seorang pejuang yang diburu tentara Belanda.
- Keluarga Gerilya (1950) – Kisah keluarga yang terjebak dalam perang kemerdekaan.
- Gadis Pantai (1962) – Kisah seorang perempuan muda yang dipaksa menikah dengan bangsawan.
Seperti yang pernah Pram katakan:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”