Di dalam dunia politik, personal branding sering dimaknai sebagai sebuah strategi yang dapat digunakan oleh seorang kandidat untuk membentuk ingatan yang kuat dibenak pemilih. Hal ini yang kemudian membedakan dirinya dari pesaingnya. Hasilnya, bisa mendorong pemilih untuk percaya pada visi dan kepemimpin sang kandidat untuk kemudian memilihnya.
Dalam praktiknya, personal branding membutuhkan sarana untuk menampilkan ide, gagasan, aktivitas, atau keahlian seseorang. Dalam hal ini, ranah digital memudahkan sang kandidat untuk menampilkan citra diri mereka. Bagaimana strategi yang dimainkan di ranah digital mendukung salah satu fungsi personal branding yaitu untuk menciptakan persepsi yang menarik dan menonjol yang dapat membedakan seseorang dari orang lain.
Salah satu kandidat dan tokoh yang menarik perhatian, salah satunya adalah Ridwan Kamil. Saya akan coba menelisik bagaimana performa personal branding Ridwan Kamil. Harapannya, kita akan punya informasi yang cukup, apakah Ridwan Kamil memang sosok yang menjanjikan sebagai pemimpin atau hanya sekadar sosok yang kosong berbalut pencitraan. Kita coba lihat bersama.
Saya akan coba meminjam konsep dari Montoya lewat bukunya yang berjudul “The Brand Called You” terbitan McGraw Hill. Di mana, dalam personal branding, terdapat beberapa elemen utama. Diantaranya:
Pertama, personality values. Maksud dari personality values disini adalah nilai-nilai kepribadian yang dimiliki seseorang. Seseorang dapat membentuk sebuah personal branding melalui polesan (strategi) dan metode komunikasi yang baik, dirancang untuk menyampaikan dua hal penting kepada khalayak, yaitu siapa dirinya sebagai seorang pribadi dan spesialisasi (keahlian) yang dimilikinya.
Membaca sosok Ridwan Kamil kita akan dapati penampilan yang kalem, penuh senyum dan sesekali menawarkan humor-humor tipis yang memecah kekakuan. Di sosial media, kerap menampilkan kharakter yang harmonis dalam rumah tangga. Tak begitu kentara memang apa ide–ide yang menonjol dari Ridwan Kamil, tapi dirinya selalu berusaha tampil relevan dan kekinian dalam setiap komunikasinya dengan publik. Hal ini tampak dari performa media sosialnya. Di sisi lain, sebutan “Kang Emil” menyimbolkan bagaimana identitas Sunda sangat kental menempel dalam dirinya. Selain itu, Identitas dirinya yang juga punya “keahlian spesifik” sebagai arsitek, menjadi kelebihan tersendiri bagi proses personal branding berikutnya.
Kedua, Promise. Pada dasarnya, personal branding merupakan sebuah janji, sebuah tanggung jawab untuk memenuhi harapan yang timbul di masyarakat yang merupakan akibat dari personal branding itu sendiri. Satu hal yang menonjol dari Ridwan Kamil adalah tawarannya mengenai tata kota yang lebih baik. Hal ini tentu selaras dengan latarbelakangnya sebagai seorang arsitek. “Janji-Janji” pembangunan yang ditawarkannya selalu punya kaitan dengan keahlian dirinya sebagai arsitek yang coba berikan solusi–solusi nyata dalam pembangunan fisik yang dijalankannya baik ketika menjadi Walikota Bandung maupun Gubernur Jawa Barat.
Ketiga, Relationship. Personal branding yang efektif dapat membuat suatu hubungan yang baik dengan klien/khalayak. Semakin banyak atribut-atribut yang dapat diterima oleh klien dan semakin tinggi tingkat kontribusi seseorang, maka hal tersebut menunjukkan semakin baiknya tingkat relasi yang ada pada personal branding tersebut. Hal ini juga terkait dengan citra baik yang bisa diterima oleh publk. Ridwan Kamil memang bukan orang partai pada awalnya. Akan tetapi, ia diterima oleh beberapa partai seperti PKS atau Gerindra. Baru selepas menjabat Gubernur Jabar, resmi bergabung dengan Partai Golkar. Dalam komunikasi publik, respon isu-isu yang berkembang di masyarakat tak hanya melalui jalur birokrasi yang kaku, tapi cukup lewat media sosial, isu-isu yang menjadi polemik bisa terselesaikan dengan baik.
Dari performa di atas, Ridwan Kamil punya modal yang cukup dan minim cacat politik. Kini, dirinya diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk menjadi calon gubernur DKI pada perhelatan pilkada 2024. Apa tantangnnya? Tentu banyak dalam konteks politik praktis. Tapi khusus terkait dengan personal branding, tantangan besarnya adalah jejak digital yang kembali diungkit dan menjadi isu miring, tak sedap dan cenderung menampilkan citra negatif. Khususnya, jejak digital terkait dengan Jakarta dan warganya.
Misalnya, di media sosial Twitter (X) dia pernah berkomentar “Selain uangnya, adakah alasan lain untuk menyukai Jakarta?”. Pada kesempatan lain dia berkomentar “Tengil, Gaul, Glamor, songong, pelit, gengsian, egois, pekerja keras, tahan banting, pamer, hedon, itu kharakter orang Jakarta #citybranding”. Tak hanya itu, dia juga pernah berkomentar bahwa DPR itu “Dewan Penipu Rakyat”. Itu hanya beberapa diantara jejak digitalnya.
Tentu, hal di atas menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya untuk mendapat simpati dari warga Jakarta. Termasuk apakah dirinya bisa menyebut dirinya “Bang” bukan “Kang” lagi. Belum lagi apakah “Jakmania” juga bisa menerima “Bobotoh” Persib Bandung ini.
Termasuk, yang paling penting, bagaimana dirinya bisa menawarkan solusi problem Jakarta seperti macet, banjir, pengangguran dll. Melihat performa personal branding Ridwan Kamil untuk bisa bertarung di Pilkada Jakarta, tentu perlu strategi tak biasa untuk merebut simpati warga Jakarta. Semuanya itu ada “Seninya”. Saya tentu punya sedikit “rahasianya”. Tapi, nanti saja, kita lihat dulu perkembangan politik sampai partai-partai resmi mendaftarkan calonnya pada pilkada Jakarta.