JakartaInsideCom–Pada masa sebelum turunnya Al-Qur’an, puisi telah menjadi kitab—bukan hanya sebagai bentuk seni, tetapi juga sebagai penyimpan nilai-nilai budaya dan sosial bagi masyarakat Arab Jahiliyah.
Di tengah kehidupan yang keras di padang pasir, puisi berfungsi sebagai wahyu yang hidup, mengabadikan kisah dan sejarah mereka dalam bentuk lisan yang dihargai tinggi.
Al-Mu‘allaqāt, kumpulan puisi yang dikatakan digantungkan di dinding Ka’bah, menjadi simbol dari penghormatan terhadap puisi sebagai medium penyampai pesan dan identitas.
Puisi pada masa itu bukan hanya bentuk ekspresi individu, melainkan juga representasi kolektif yang menampung perasaan dan pandangan hidup masyarakat.
Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Husain Jaudi dalam Al-Fann al-‘Araby al-Islami, tradisi puisi menjadi alat dokumentasi sejarah yang tak tertulis, menjembatani generasi-generasi sebelumnya dengan generasi berikutnya tanpa bergantung pada tulisan.
Puisi itu hidup, menggema di setiap pertemuan dan pasar, menjadi pengikat suku-suku yang berbeda.