Mayyasari Timur, seorang pengamat berdarah bangsawan Surakarta, menyampaikan kritik tajam terkait peran mantan ke-7 , , dalam beberapa pemilihan ().

Menurut Mayya, tindakan yang terlibat aktif dalam mendukung pasangan calon di , Surakarta, dan dianggap tidak etis dan tidak sesuai dengan posisi seorang mantan .

“Memang tidak ada aturan yang melarang, tetapi sebagai mantan yang menjabat selama 10 tahun dan bukan petinggi partai, tindakan ini kurang elok. Beliau seolah-olah bertindak seperti yang digunakan untuk mendongkrak popularitas pasangan calon,” ungkap Mayya dalam siaran persnya, Sabtu (1/12).

Pergeseran Nilai Demokrasi

Mayya menyoroti pergeseran nilai dan peradaban di yang menurutnya semakin membahayakan kualitas demokrasi.

Ia menilai kontestasi yang seharusnya menjadi ajang adu intelektualitas, integritas, dan moralitas, kini bergeser menjadi kompetisi popularitas yang mengandalkan jasa dan .

“Kualitas demokrasi kita menurun. Popularitas bukan syarat utama untuk memilih . Yang utama adalah intelektualitas dan integritas, sesuai cita-cita meritokrasi. Namun, kini demokrasi kita semakin rusak oleh fenomena ini,” ujarnya.

Mayya juga mengkritik penggunaan buzzer dalam mendukung calon . Menurutnya, peran negarawan, akademisi, dan tidak bisa digantikan oleh .

“Saya berharap para juga memahami peran mereka. Jadilah yang cerdas, bukan sekadar buzzer ,” tegasnya.

Negarawan Sebagai Teladan