Baru-baru ini, isu perselingkuhan seorang pilot suami dari influencer bernama @iranandha dengan seorang pramugari dalam maskapai yang sama menjadi perbincangan hangat di jagat . @iranandha seketika mendapat perhatian besar, dengan banyak memberikan tanggapan dan simpatinya, memviralkannya. Hingga tulisan ini dibuat (3 Januari 2024 pukul 23.00), postingan tentang perselingkuhan sang suami di @iranandha telah mendapatkan 807.591 komentar.

Namun, yang menarik perhatian saya sebagai seorang marketer adalah fakta bahwa setelah postingan tersebut menjadi dan menyita perhatian selama 2-3 hari, @faraaa merilis rate card tarif endorsement @iranandha dengan harga yang cukup tinggi dibanding tarif biasanya sebelum peristiwa perselingkuhan tersebut . Pemilik tersebut mungkin menyadari bahwa peristiwa tersebut melahirkan traffic yang dapat menghasilkan pemasukan yang sangat menggiurkan akan sangat mubadzir rasanya jika tidak dapat dimanfaatkan dengan baik momentum ini.

Dalam era , buruk seringkali menjadi magnet bagi perhatian . Kejadian tragis, , atau menyedihkan cenderung memicu minat yang besar dari . Fenomena ini membawa perbincangan hangat mengenai pemanfaatan buruk untuk keuntungan komersial. Dalam ini, saya mencoba menganalisis peran buruk dalam mencapai traffic dan keuntungan komersial.

buruk memiliki daya tarik khusus yang cenderung mencuri perhatian lebih banyak daripada positif. tertarik pada kejadian yang mengejutkan, , atau mendalam emosional. Oleh karena itu, media sering memberikan porsi lebih besar pada buruk untuk menarik perhatian pembaca atau penonton. Peningkatan traffic juga terjadi ketika buruk hadir, karena mencari pembaruan terkait peristiwa penting. Hal ini memberikan peluang bagi penerbit untuk meningkatkan traffic mereka, yang pada gilirannya, dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan utama melalui .

Namun, di balik fenomena ini, ada psikologis yang perlu diperhatikan. cenderung lebih memperhatikan negatif daripada positif, fenomena yang dikenal sebagai “negativity bias.” Konsumsi buruk juga memberikan sensasi dan kepuasan emosional tertentu, memicu rasa ingin tahu dan keinginan untuk mengatasi situasi sulit.

Efek buruknya terhadap juga perlu dipertimbangkan. Fokus berlebihan pada buruk dapat menciptakan polarisasi dan ketegangan di . Terlalu menekankan atau kontroversi dapat merugikan integritas sosial dan kohesi. Selain itu, konsumsi berlebihan buruk dapat memberikan dampak negatif pada kesejahteraan psikologis , menciptakan rasa takut, kekhawatiran berlebihan, dan kecemasan akibat paparan yang terlalu negatif.

Fenomena “Bad is Good ” mencerminkan realitas media digital saat ini, di mana buruk menjadi daya tarik utama untuk mendapatkan perhatian dan meningkatkan traffic. Namun, para pelaku media perlu mempertimbangkan tanggung jawab sosial mereka dalam menyajikan informasi kepada . antara mendapatkan perhatian dan menjaga kesejahteraan perlu dijaga agar dampak negatif dapat diminimalkan.