JakartaInsideCom–20 April menjadi pengingat abadi akan sebuah peristiwa yang mengguncang jazirah Arab lebih dari 1.450 tahun lalu—penyerangan Ka’bah oleh pasukan gajah yang dipimpin Abrahah, gubernur Kristen dari Yaman.
Peristiwa itu, dalam literatur Islam, dikenal sebagai Tahun Gajah (‘Am al-Fil), bukan hanya sebagai narasi kekalahan imperium, tapi juga sebagai latar kelahiran seorang Nabi yang kelak mengubah wajah peradaban.
Upaya Abrahah membangun dominasi kultural lewat katedral megah Al-Qullais di Sana’a berujung kegagalan. Bangsa Arab tetap menjadikan Ka’bah sebagai pusat spiritual mereka. Frustrasi berubah menjadi agresi. Abrahah bergerak ke jantung Mekah dengan pasukan dan gajah perang, ingin menghancurkan rumah ibadah tua yang dianggap meredupkan pamor katedralnya.
Namun sejarah menulis akhir berbeda. Sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Fil, pasukan itu hancur lebur oleh burung–burung Ababil yang menjatuhkan batu dari tanah liat panas. Serangan itu tak pernah sampai ke titik akhir. Yang tersisa justru adalah puing ambisi kekuasaan dan gema mukjizat yang diyakini umat Islam sebagai perlindungan Ilahi atas Baitullah.
Tahun itu tak hanya menandai kegagalan invasi. Ia juga menjadi awal perjalanan seorang yatim bernama Muhammad, yang lahir tak lama setelah peristiwa tersebut. Dalam sunyi dan kehilangan, sejarah kenabian justru dirintis. Abdullah, ayah Muhammad, wafat dalam perjalanan niaga ke Yatsrib (kini Madinah), meninggalkan istri dan bayi dalam perut yang belum sempat mengenal wajah ayahnya.
Duka itu mengalir dalam ratapan syair yang menyayat hati, karya Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad, yang dikutip NuOnline dari Syekh Nawawi al-Bantani dalam Madarijus Su’ud: “Allah telah mengambil ayah Rasulullah, menjadikan yatim dalam kesendiriannya, namun Rasulullah tetap dalam kasih sayang-Nya, jiwaku menjadi tebusan untuk orang yang tabah dalam ke-yatim-an.”
Tahun Gajah bukan hanya catatan tentang kekalahan pasukan bergajah. Ia adalah titik mula dari narasi yang lebih besar: lahirnya risalah tentang kasih, keadilan, dan pembebasan, yang dibawa seorang anak yatim dari Mekah, menembus batas-batas zaman dan peradaban.