Puisi sebagai seni purba, yang tak lenyap oleh zaman, adalah satu contoh–meminjam istilah latin, ars longa vita brevis–kekuatan hati nurani dari pelbagai godaan-intrik kehidupan atau kelesuan mengahadapi kemonotonan hidup itu sendiri.
Kenapa begitu? Karena puisi punya kandungan ekstasi tekstual (baca lebih lanjut tulisan Saut Situmorang berjudul Ekstasi Puisi), yang tentu saja itu candu, yang di mana seseorang bisa mendapatkan kenikmatan emosi–katarsis–atas kegamangan kehidupan.
Puisi, sebagai seni purba itu sendiri, juga punya banyak jenis, bentuk atau genre yang di mana tujuan-fungainya sebagai ciri khas/realitas zaman, keadaan sosial atau psikologis yang terkandung di dalamnya. Maka, ada baiknya melihat puisi, dengan sebisa-semampunya, tak hanya sekadar susunan kata-kata, atau sekadar, yang pernah dibicarakan Profesor Sapardi bersama Najwa Shihab, sebagai bunyi semata.
Maksudnya, dalam kaidah seni puisi, tentu saja bunyi itu perlu dan wajib adanya, tapi puisi tidak hanya itu melainkan segala unsur yang telah ditetapkan oleh akademisi atau para penyair awam, junior, penyair bakat alam, penyair intelektual melalui beberapa kesempatan dan keributan di dalamnya.
Seni puisi sebagai satu entitas tersendiri yang ada di dalam dunia manusia, setelah melalui verifikasi dan macam-macam itu, tentunya punya unsur dan perkembangannya tersendiri. Maka, dalam hal ini, sebagai yang bukan dari kalangan penyair dan akademisi sastra, saya mencoba, sebisa-semampunya, melihat puisi Sontoloyo karya Fadli Zon sebagai sebuah gambaran tentang Republik Indonesia untuk mengingat dan menegaskan ars longa vita brevis.