JakartaInsideCom – Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menutup seluruh pembangkit listrik tenaga fosil dan menambah kapasitas energi terbarukan hingga 75 GW pada 2040 disambut sebagai langkah penting dalam menghadapi krisis iklim.
Namun, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menegaskan perlunya langkah nyata untuk merealisasikan target ambisius tersebut.
Dalam laporan terbarunya, IEEFA mencatat lambannya proses pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia. Sebagian besar proyek yang telah diumumkan pemerintah masih terhenti pada tahap lelang dan negosiasi.
Hal ini menghambat percepatan pembangunan infrastruktur energi bersih yang menjadi kunci dalam penghentian operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
“Percepatan pengadaan energi terbarukan sangat penting. Saat ini, kapasitas tambahan hanya sekitar 0,6 GW per tahun, jauh dari target tahunan 2,1 GW dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030,” ujar Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi IEEFA.
Beberapa proyek besar, seperti program penggantian 5.200 PLTD dengan energi terbarukan dan proyek Hijaunesia yang menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 1 GW, masih dalam tahap awal. Meski LoI telah ditandatangani pada akhir 2023, realisasi kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) belum terjadi.
IEEFA juga menyoroti perlunya restrukturisasi proses pengadaan.
Grant Hauber, Strategic Energy Finance Advisor Asia IEEFA, merekomendasikan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk PT Sarana Multi Infrastruktur dan Indonesia Investment Authority, untuk mengidentifikasi proyek yang layak dan mempercepat pelaksanaannya.
Di sisi lain, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menghentikan operasional PLTU. Saat ini, sekitar 50 GW kapasitas PLTU masih beroperasi, dengan 22 GW di antaranya milik PLN.
“PLTU yang lebih tua, terutama yang telah beroperasi lebih dari 25 tahun, harus diprioritaskan untuk pensiun dini,” tambah Mutya.
Beberapa PLTU yang memenuhi kriteria tersebut termasuk Suralaya, Bukit Asam, Paiton, dan Ombilin.
Komitmen Indonesia di forum internasional seperti COP29 dan G20 dianggap sebagai momentum untuk mendorong transisi energi yang lebih bersih. Namun, implementasi regulasi dan percepatan pengadaan menjadi tantangan utama.
“Indonesia harus memastikan langkah konkret untuk mengurangi emisi dan memenuhi target energi bersih yang ambisius ini,” tutup Mutya.