Kata putih berasal dari bahasa Sanskerta śveta atau sita, yang berarti bersih, suci, atau murni. Dalam banyak budaya, putih melambangkan awal yang baru serta simbol kebebasan dan pencerahan.
Psikologi warna mengaitkan putih dengan kejernihan pikiran serta keseimbangan dalam menghadapi situasi.
Jika melihat dalam konteks Indonesia, putih merepresentasikan optimisme terhadap berbagai persoalan bangsa.
Orang-orang dengan sudut pandang ini percaya bahwa tantangan adalah bagian dari proses menuju kemajuan. Bagi mereka, setiap masalah bukanlah akhir, melainkan peluang untuk memperbaiki keadaan.
Kasus korupsi Pertamina yang mencuat di tahun 2025 menunjukkan ujian besar yang bisa menjadi titik balik reformasi sistem.
Mereka yang berpandangan optimis percaya bahwa terungkapnya kasus ini menandakan meningkatnya transparansi dan efektivitas lembaga hukum. Jika proses hukum berjalan adil dan tegas, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa perlahan pulih.
Bagi mereka, perubahan memang butuh waktu dan perjuangan, tetapi bukan berarti mustahil. Setiap langkah perbaikan, sekecil apa pun, tetap berarti bagi masa depan bangsa.
Hitam: Sudut Pandang Pesimis dan Negatif
Sama seperti putih, hitam juga memiliki arti dan makna tersendiri. Kata hitam dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata kṛṣṇa atau syama, yang berarti gelap, pekat, atau sesuatu yang tertutup dari cahaya. Banyak budaya mengasosiasikan hitam dengan kegelapan, kejahatan, atau sesuatu yang mencerminkan ketidakpastian dan ketidakadilan.
Dalam konteks sosial–politik, hitam melambangkan kekecewaan dan pesimisme terhadap situasi yang ada.
Mereka yang melihat dunia dalam warna hitam cenderung skeptis terhadap perubahan. Korupsi yang terus berulang, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, serta lemahnya sistem dalam menindak pelanggaran membuat banyak orang kehilangan harapan.
Kasus korupsi Pertamina yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,4 triliun (atau bahkan Rp1,4 kuadriliun sejak 2018) membuktikan lemahnya pengawasan negara. Dari sudut pandang ini, kasus tersebut bukanlah insiden terisolasi, tetapi cerminan dari sistem yang korup sejak lama.
Bagi mereka, selama sistem meritokrasi belum diterapkan secara ketat dan budaya korupsi masih mengakar, perubahan hanyalah utopia. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi hukum semakin tergerus, karena mereka melihat bahwa skandal semacam ini terus berulang tanpa solusi nyata.