Ia menyinggung dan , dua besar yang juga mengalami , namun tak serta-merta menjadi kekuatan karena kegagalan memaksimalkan tata kelola .

“Bonus itu bukan . Ia . Dan butuh sopir yang cakap, yang layak, arah yang jelas,” tegasnya.

Poin Ferry tidak berhenti pada . Ia menyinggung representasi muda dalam , yang menurutnya lebih banyak diisi oleh orang-orang yang “beruntung lahir di yang tepat.”

Dalam narasinya, Ferry menitikberatkan satu keresahan mendalam tentang ketimpangan , terdidik, bahkan radikalisasi , bisa lahir dari yang tak dibarengi dengan yang nyata.

Pertarungan narasi ini tidak berlangsung di meja atau ruang debat formal, melainkan di , di ruang tempat warganet lebih sering menjadi juri ketimbang penonton.

tampil sebagai simbol kekuasaan yang modern, terstruktur, dan memesona. tampil sebagai penyeimbang yang membumi, menghadirkan keraguan, kegelisahan, dan mungkin, yang selama ini terpinggirkan.

Pertanyaan yang menggantung di antara dua itu bukan sekadar siapa yang lebih fasih bicara depan, tetapi siapa yang lebih jujur menghadapi kenyataan?