Ia menyinggung India dan Tiongkok, dua negara besar yang juga mengalami bonus demografi, namun tak serta-merta menjadi kekuatan ekonomi global karena kegagalan memaksimalkan tata kelola sumber daya manusia.
“Bonus itu bukan hadiah. Ia kendaraan. Dan kendaraan butuh sopir yang cakap, jalan yang layak, arah yang jelas,” tegasnya.
Poin Ferry tidak berhenti pada ekonomi. Ia menyinggung representasi anak muda dalam pemerintahan, yang menurutnya lebih banyak diisi oleh orang-orang yang “beruntung lahir di keluarga yang tepat.”
Dalam narasinya, Ferry menitikberatkan satu keresahan mendalam tentang ketimpangan sosial, pengangguran terdidik, bahkan radikalisasi gagasan, bisa lahir dari retorika yang tak dibarengi dengan kebijakan yang nyata.
Pertarungan narasi ini tidak berlangsung di meja parlemen atau ruang debat publik formal, melainkan di YouTube, di ruang digital tempat warganet lebih sering menjadi juri ketimbang penonton.
Gibran tampil sebagai simbol komunikasi kekuasaan yang modern, terstruktur, dan memesona. Ferry Irwandi tampil sebagai penyeimbang yang membumi, menghadirkan keraguan, kegelisahan, dan mungkin, suara yang selama ini terpinggirkan.
Pertanyaan yang menggantung di antara dua video itu bukan sekadar siapa yang lebih fasih bicara soal masa depan, tetapi siapa yang lebih jujur menghadapi kenyataan?