JakartaInsideCom — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang berlangsung pada 2019 hingga 2022.
Sebagai bagian dari pengusutan perkara tersebut, KPK memanggil dua saksi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Kedua saksi yang dijadwalkan hadir adalah Ashadi A. Rawang (AAR), Project Director PT Sarana Multi Infrastruktur, dan Ferin Chairysa (FC), pegawai firma hukum UMBRA.
“Pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, atas nama AAR dan FC,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Dalam penyidikan ini, KPK telah menetapkan beberapa pihak sebagai tersangka, termasuk Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry MAC, serta Direktur Komersial dan Pelayanan M Yusuf Hadi.
Selain itu, pemilik PT Jembatan Nusantara, Adjie, turut ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan perhitungan sementara, dugaan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp1,27 triliun.
Namun, KPK menyatakan angka tersebut masih bisa bertambah seiring perkembangan penyidikan.
Proses akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP sendiri disebut sarat kejanggalan.
ASDP membeli seluruh saham perusahaan tersebut senilai Rp1,3 triliun, termasuk penguasaan 53 kapal yang dikelola.
Informasi yang dihimpun menyebutkan akuisisi tersebut berlangsung tanpa dasar hukum yang jelas dan diduga melanggar berbagai aturan yang berlaku.
Seiring pengusutan, KPK telah menyita 15 aset bernilai ratusan miliar rupiah milik Adjie.
Sejumlah properti tersebut tersebar di kawasan Pondok Indah, Menteng, Bogor, hingga Surabaya. Empat di antaranya berlokasi di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Dalam perkembangan lain, KPK membuka peluang untuk menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam perkara ini.
Upaya ini bertujuan untuk menjangkau aset-aset yang diduga telah disembunyikan, sehingga mempercepat proses pemulihan aset atau asset recovery.
Meski demikian, penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) TPPU masih akan mempertimbangkan hasil pengembangan penyidikan.
Jika penyelamatan aset dapat dilakukan berdasarkan pasal kerugian keuangan negara, maka KPK tidak akan mengeluarkan sprindik TPPU tambahan. Saat ini, sprindik yang telah diterbitkan terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 tentang tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara.
Kasus ini menjadi perhatian banyak pihak yang berharap penanganan berjalan transparan, tuntas, dan memberikan keadilan bagi negara dan masyarakat.