Dalam ilmu sastra, khususnya puisi, ahlinya sepakat bahwa puisi punya dua unsur, yakni fisik dan batin. Bila sebelumnya sedikit melihat jasad, sekarang saya coba melihat batinnya. Adapun unsur batin yang akan dilihat, yaitu tema, amanat, rasa, nada dan suasana.
- Tema yang gampang terlihat dalam puisi ini adalah kritik sosial dan politik. Penyair menyoroti kebijakan ekonomi dan pemerintahan yang dinilai kontradiktif atau tidak berpihak pada rakyat. Hal itu bisa dilihat, dari hal perekonomian yang diklaim meroket, tetapi justru melemah. Ketidaksesuaian antara klaim surplus produksi beras dengan masih maraknya impor. Tingkat pengangguran yang disebut menurun, tetapi realitas di lapangan menunjukkan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Beban utang negara yang semakin besar dan dampaknya pada pelemahan nilai tukar rupiah serta kenaikan harga kebutuhan hidup. Ketimpangan sosial antara rakyat dan elite pemerintahan yang disebut “menjamui tuan asing“. Tema ini erat dengan puisi pamflet, khususnya, setahu saya, persis yang dilakukan W.S Rendra, yaitu puisi yang bersifat propaganda atau kritik tajam terhadap suatu keadaan sosial-politik.
- Amanat atau pesan moralnya adalah kritik terhadap ketidaksesuaian antara klaim pemerintah dengan realitas yang dirasakan masyarakat. Menegaskan bahwa rakyat harus waspada dan tidak mudah percaya pada retorika politik yang tidak berdasar pada fakta. Mendesak pemerintah untuk lebih transparan dan bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka buat. Membangkitkan kesadaran rakyat terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk. Pemilihan kata “Sontoloyo” sebagai pengulangan dalam puisi ini mempertegas sikap protes penyair terhadap kebijakan pemerintah.
- Rasa dalam puisi ini memiliki rasa amarah dan kekecewaan yang kuat. Penyair menggunakan diksi yang tegas dan langsung tanpa metafora yang rumit, menunjukkan keberanian dalam menyampaikan kritik. Kata “Sontoloyo” yang diulang-ulang memberikan efek emosional yang mengarah pada kecaman atau ekspresi ketidaksabaran terhadap kondisi yang terjadi. Ada nada sinis dan sarkastik dalam pemilihan diksi seperti “kau jamu tuan asing bermewah-mewah,” yang menunjukkan perasaan frustrasi terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi.
- Nada dalam puisi ini jelas bersifat satir dan sarkastik. Penyair menggunakan nada menghujat untuk mengekspos ketidaksesuaian antara klaim pemerintah dengan kenyataan di lapangan. Penggunaan kata “Sontoloyo!” sebagai seruan langsung menciptakan kesan kemarahan yang eksplisit. Terdapat unsur ironi dalam penyampaian fakta, misalnya ketika klaim tentang ekonomi yang membaik justru dikontraskan dengan data realitas yang bertolak belakang. Nada ini membuat puisi lebih tajam dan berfungsi sebagai alat kritik politik yang keras.
- Suasana yang tercipta dari puisi ini adalah kekecewaan, ketidakpuasan, dan kegelisahan. Pembaca yang merasakan realitas yang sama kemungkinan akan merasa geram atau semakin sadar terhadap permasalahan sosial yang dikritik. Penggunaan kalimat-kalimat pendek yang langsung pada pokok persoalan menciptakan suasana mendesak dan penuh ketegangan. Kata “Rezim Sontoloyo!” di bagian akhir memberikan klimaks yang menegaskan suasana perlawanan.
Sebelumnya, sebagai informasi, Fadli Zon adalah nama yang tak asing di kuping masyarakat Indonesia saat ini. Selain menjadi legislator kala itu, Fadli Zon juga pernah berurusan dengan dunia sastra tahun 1990-an, yaitu menjadi salah satu pengurus Majalah Horison. Rekam jejaknya menunjukkan bahwa Fadli adalah seseorang yang senang dan aktif terlibat di dalam dunia itu, seni, sastra atau budaya pada umumnya. Informasi lainnya, cari tahu sendiri di internet, di buku, atau di sosial media sebagai penyempurna-pelengkap informasinya.