Pihak penyelenggara acara, yang memiliki akses ke informasi seperti harga tiket dan biaya produksi, bertanggung jawab untuk memastikan pembayaran royalti sesuai ketentuan yang berlaku.
“Melihat Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), tidak hanya pasal di UU yang perlu diperhatikan. Kita juga harus melihat secara keseluruhan aturan turunan yang ada, termasuk peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai tarif royalti.
Tarif ini dihitung dari berbagai faktor, seperti harga tiket, biaya produksi, dan informasi lainnya yang dimiliki oleh penyelenggara,” jelas Kadri.
Lebih lanjut lagi , Kadri menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun, norma yang berlaku di industri musik Indonesia menunjukkan bahwa kewajiban pembayaran royalti terletak pada penyelenggara, bukan artis ,” jelas Kadri.
Praktik ini sudah berlangsung lama dan tidak pernah menyalahkan artis atau musisi atas kewajiban royalti.
Kadri juga menggarisbawahi pentingnya melihat pernyataan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang merupakan wakil pemerintah dalam interpretasi hukum mengenai hak cipta.
DJKI secara tegas menyatakan bahwa kewajiban royalti harus dipenuhi oleh penyelenggara acara, bukan artis.
Kadri mengingatkan bahwa hakim dalam kasus ini harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena putusan yang keliru berpotensi memberikan dampak luas terhadap ekosistem industri musik di Indonesia.
Jika hukum diterapkan dengan cara yang salah, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para musisi dan artis, serta penyelenggara acara yang bekerja di industri ini.
Kasus Agnez Mo ini tentunya masih akan terus berkembang dan menunggu keputusan lebih lanjut dari pihak pengadilan.
Keputusan yang diambil dalam kasus ini akan menjadi preseden penting dalam penerapan hukum hak cipta di Indonesia di masa depan.