JakartaInsideCom — Mayyasari Timur, seorang pengamat politik berdarah bangsawan Surakarta, menyampaikan kritik tajam terkait peran mantan Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, dalam beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Menurut Mayya, tindakan Jokowi yang terlibat aktif dalam mendukung pasangan calon di Pilkada Jawa Tengah, Surakarta, dan Jakarta dianggap tidak etis dan tidak sesuai dengan posisi seorang mantan kepala negara.
“Memang tidak ada aturan yang melarang, tetapi sebagai mantan presiden yang menjabat selama 10 tahun dan bukan petinggi partai, tindakan ini kurang elok. Beliau seolah-olah bertindak seperti influencer yang digunakan untuk mendongkrak popularitas pasangan calon,” ungkap Mayya dalam siaran persnya, Sabtu (1/12).
Pergeseran Nilai Demokrasi
Mayya menyoroti pergeseran nilai dan peradaban politik di Indonesia yang menurutnya semakin membahayakan kualitas demokrasi.
Ia menilai kontestasi Pilkada yang seharusnya menjadi ajang adu intelektualitas, integritas, dan moralitas, kini bergeser menjadi kompetisi popularitas yang mengandalkan jasa influencer dan selebritas.
“Kualitas demokrasi kita menurun. Popularitas bukan syarat utama untuk memilih pemimpin. Yang utama adalah intelektualitas dan integritas, sesuai cita-cita sistem meritokrasi. Namun, kini demokrasi kita semakin rusak oleh fenomena ini,” ujarnya.
Mayya juga mengkritik penggunaan buzzer dalam mendukung calon kepala daerah. Menurutnya, peran negarawan, akademisi, dan intelektual tidak bisa digantikan oleh influencer.
“Saya berharap para influencer juga memahami peran mereka. Jadilah influencer yang cerdas, bukan sekadar buzzer politik,” tegasnya.
Negarawan Sebagai Teladan