JakartaInsideCom – Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan munculnya gambar Garuda Pancasila bertuliskan “Peringatan Darurat” yang viral di berbagai platform media sosial. Fenomena ini memicu berbagai spekulasi dan reaksi dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah dan masyarakat umum.
Gambar tersebut pertama kali muncul sebagai tangkapan layar dari tayangan analog horor buatan EAS Indonesia Concept. Banyak warganet yang mengunggah gambar ini sebagai bentuk protes terhadap tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap inkonstitusional. DPR dinilai mengabaikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah merancang revisi Undang-Undang Pilkada yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap dua putusan MK sebelumnya. Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pemilu legislatif sebelumnya, yang sudah diputuskan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan, padahal MK menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan tidak bisa dibatalkan oleh DPR. Putusan MK memiliki kekuatan eksekutorial, yang berarti tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan tersebut, termasuk oleh DPR. Putusan MK juga bersifat erga omnes, yang berarti mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali.
Reaksi masyarakat terhadap tindakan DPR ini sangat beragam. Banyak yang merasa bahwa tindakan DPR merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan merusak demokrasi. Aksi demonstrasi besar-besaran pun digelar di berbagai daerah, termasuk di depan Gedung DPR RI di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Demonstrasi ini diwarnai dengan berbagai tuntutan agar DPR mematuhi putusan MK dan menghentikan revisi UU Pilkada yang dianggap merugikan demokrasi.
Pemerintah, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa peringatan darurat ini merupakan bagian dari kebebasan berekspresi masyarakat. “Biarkan saja, itu bagian dari kebebasan berekspresi,” kata Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Namun, pernyataan ini tidak meredakan kekhawatiran masyarakat yang merasa bahwa tindakan DPR dapat mengancam stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.
Fenomena “Peringatan Darurat Indonesia” ini menunjukkan betapa pentingnya peran masyarakat dalam mengawal demokrasi dan memastikan bahwa setiap tindakan pemerintah dan DPR sesuai dengan konstitusi. Masyarakat diharapkan terus kritis dan aktif dalam menyuarakan pendapatnya demi menjaga keutuhan dan kestabilan negara.