Oleh : Catur Pamungkas

– Hasil quick count sementara pada Jakarta menunjukkan keunggulan pasangan calon Anung- Karno dibandingkan pasangan lainnya, yakni -Suswono serta -Kun Wardana. Pasangan Pram- berhasil meraih angka signifikan dengan rata-rata antara 49% hingga 51%. Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar Jakarta akan berlangsung hanya satu putaran.

Kemenangan Anung- Karno bukanlah hal kebetulan. Fenomena ini menegaskan pola yang terus berulang dalam Jakarta. Dalam tiga Pilkada terakhir, warga Jakarta cenderung memilih figur baru yang tidak berasal dari perwakilan pemerintah pusat yang sedang berkuasa.

Polanya Terulang Sejak Pilkada 2012

Pola ini dimulai pada Jakarta 2012, di mana pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, yang diusung oleh PDIP dan sebagai oposisi pemerintah pusat, memenangkan kontestasi melawan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli. Saat itu, Fauzi-Nahrowi didukung oleh banyak partai, termasuk yang sedang memimpin pemerintahan.

Kejadian serupa terjadi kembali pada Jakarta 2017. Pasangan -Sandiaga Uno, yang diusung oleh dan PKS sebagai oposisi, mengalahkan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang didukung PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah pusat.

Pada ini, pola tersebut tampaknya terulang lagi. Pasangan -Suswono, yang diusung oleh mayoritas partai pendukung pemerintah, diprediksi kalah dari Anung- Karno. merupakan pasangan yang diusung PDIP, partai oposisi di bawah pemerintahan Subianto.

Jakarta: Antipati Terhadap Figur Pemerintah Pusat?

Dari ketiga peristiwa tersebut, terlihat bahwa pasangan calon yang dianggap sebagai representasi pemerintah pusat atau “rezim” sering kali tidak disukai oleh warga Jakarta. Sebaliknya, warga cenderung memilih figur oposisi yang menjadi lawan utama pemerintah pusat. Fenomena ini menegaskan bahwa persepsi publik tentang figur lebih menentukan dibandingkan atau program kerja.

Kondisi di Wilayah Lain: Berbeda dengan Jakarta

Berbeda dengan Jakarta, di sejumlah wilayah lain rivalitas antara Plus ( Plus) dan PDIP menunjukkan hasil berbeda. Pasangan calon dari Plus justru memenangkan kontestasi di beberapa seperti , , Tengah, dan Timur.

Salah satu yang menarik perhatian adalah Pilkada Tengah. Sebagai basis massa PDIP, Tengah semula diprediksi akan dimenangkan oleh pasangan Andika-Hendi yang diusung PDIP. Namun, dukungan terbuka dari mantan Presiden Joko Widodo dan Subianto terhadap pasangan Ahmad Lutfi-Taj Yasin dari Plus ternyata sangat memengaruhi hasil akhir. Meski awalnya unggul di banyak survei, Andika-Hendi akhirnya kalah dari Lutfi-Taj Yasin dengan selisih angka yang cukup signifikan.

Kejadian ini menunjukkan bahwa, di luar Jakarta, dukungan dari tokoh besar seperti Jokowi dan mampu menetralkan kekuatan mesin partai PDIP, bahkan di wilayah yang dikenal sebagai basisnya.

Pelajaran dari

memberikan pelajaran penting bahwa dalam , persepsi publik adalah kunci utama. Siapa pun yang mampu membangun persepsi yang sesuai dengan keinginan masyarakat memiliki peluang besar untuk memenangkan kontestasi . dan program kerja sering kali kalah relevansi ketika persepsi tentang figur sudah terbentuk, baik itu persepsi positif maupun negatif.

Persepsi, bukan hanya program, menjadi elemen krusial dalam memenangkan hati masyarakat pemilih. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa adalah tentang bagaimana kandidat mampu memahami dan memenuhi ekspektasi persepsi publik.