JakartaInsideCom—Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi mencabut status bebas pajak Universitas Harvard, memicu gelombang kecaman dari komunitas akademik dan hak asasi sipil.
Langkah dramatis ini diumumkan hanya sehari setelah Trump menyatakan niatnya di platform Truth Social miliknya, menyebut Harvard sebagai “lelucon” yang menurutnya telah mengajarkan “kebencian dan kebodohan”.
Dikutip dari AFP, CNN, dan Washington Post, otoritas pajak federal, Internal Revenue Service (IRS), tengah menyiapkan rencana eksekusi pencabutan tersebut.
Tidak sampai di situ, pemerintahan Trump juga telah membekukan lebih dari dua miliar dolar dana federal yang selama ini menopang berbagai program riset dan kesehatan masyarakat di Harvard, termasuk penelitian penting dalam bidang HIV/AIDS di Harvard T.H. Chan School of Public Health.
Langkah Trump tersebut muncul setelah Harvard secara terbuka menolak tuntutan panjang Gedung Putih yang menurut para pengamat bertujuan membungkam kebebasan akademik dan membatasi keragaman kampus.
Dalam pernyataan resmi yang dikirimkan kepada CBS News, Presiden Harvard Alan M. Garber menegaskan bahwa universitas tidak akan menyerahkan independensinya atau melepas hak konstitusionalnya demi mempertahankan pendanaan.
“Kami akan terus mematuhi hukum dan berharap pemerintah melakukan hal yang sama,” tegas Garber dalam surat yang ditujukan kepada komunitas kampus.
Garber juga menambahkan bahwa tidak ada pemerintahan—siapa pun partainya— yang berhak menentukan siapa yang boleh kami terima, apa yang boleh kami ajarkan, atau riset apa yang layak kami jalankan.
Sebelumnya, perseteruan ini berawal dari daftar tuntutan yang diajukan pemerintahan Trump. Di antaranya: melarang penerimaan mahasiswa berdasarkan ras atau asal negara, membatasi penerimaan mahasiswa asing yang dianggap memusuhi nilai-nilai Amerika, menghentikan program keragaman dan inklusi (DEI), serta menindak keras aksi-aksi protes di kampus.
Selain itu, Trump mendesak Harvard untuk menyerahkan laporan rinci mengenai aktivitas “ilegal dan kekerasan” oleh mahasiswa asing. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) memperingatkan bahwa jika Harvard gagal memenuhi permintaan itu, universitas tersebut bisa kehilangan hak menerima mahasiswa internasional. Saat ini, lebih dari 6.700 mahasiswa asing sedang menempuh pendidikan di Harvard.
Aksi protes pun pecah di kampus Harvard di Cambridge, Massachusetts. Pada hari Kamis, puluhan mahasiswa berkumpul di tangga Perpustakaan Widener untuk menyatakan penolakan terhadap tekanan dari pemerintah federal.
Selebaran protes menyebut bahwa “kita harus berjuang” demi perlindungan mahasiswa internasional.
Namun ketegangan ini belum menunjukkan tanda akan mereda. Pemerintahan Amerika mengirimkan daftar tuntutan lanjutan yang lebih rinci. Termasuk di dalamnya desakan agar Harvard mencabut pengakuan terhadap kelompok mahasiswa pro-Palestina, mereformasi penerimaan mahasiswa untuk menyaring mereka yang “mendukung terorisme dan anti-Semitisme”, serta mengeluarkan mahasiswa yang terlibat dalam protes tahun lalu di Harvard Business School.
Tak hanya mahasiswa, para dosen dan staf akademik pun turut menjadi sasaran. Pemerintah meminta agar kekuasaan mereka dibatasi—terutama bagi mereka yang dianggap lebih condong ke arah aktivisme dibanding akademisi.
Selain itu, Gedung Putih meminta agar Harvard menunjuk pemimpin kampus yang bersedia melaksanakan kebijakan pemerintah serta menyerahkan laporan triwulanan mulai Juni 2025 sebagai bukti kepatuhan.
Kritik keras terhadap langkah Trump berdatangan dari berbagai kalangan, baik di dalam maupun luar negeri.
Banyak yang melihat tindakan ini sebagai preseden berbahaya terhadap kebebasan akademik dan otonomi lembaga pendidikan tinggi.
Bagi Harvard, pertarungan ini bukan sekadar soal pajak atau dana federal, melainkan pertarungan prinsip mengenai hak untuk berdiri bebas dari campur tangan kekuasaan politik.