Oleh : Yanuar Catur P (CEO Bantuinonline.com)
JakartaInsideCom – Dalam beberapa tahun terakhir, disrupsi digital telah menjadi sorotan dalam berbagai pemberitaan. Teknologi-teknologi baru yang didorong oleh algoritma cerdas kini hadir untuk membantu pekerjaan manusia dalam berbagai bentuk. Misalnya, platform e-commerce mempermudah proses jual beli, media sosial memungkinkan pesan publik tersampaikan dengan cepat dan efektif, ChatGPT membantu penyusunan teks dan penyelesaian tugas kepenulisan, serta Canva AI yang menyederhanakan proses desain visual. Produk-produk berbasis digital ini kini hadir di hampir setiap aspek kehidupan modern manusia.
Meski berbagai kemudahan ini dirasakan oleh banyak orang, penggunaan teknologi secara intensif dan masif juga menghadirkan sejumlah efek samping. Salah satu dampak utamanya adalah hilangnya berbagai jenis pekerjaan, yang kini tergantikan oleh teknologi digital. Dahulu, perdagangan melibatkan rantai panjang, mulai dari produsen, distributor, agen, hingga seller sebelum sampai ke konsumen. Namun, dengan hadirnya platform e-commerce, proses tersebut menjadi lebih singkat, memungkinkan produsen menjual langsung ke konsumen. Bagi konsumen, ini jelas menguntungkan karena rantai pasokan yang lebih singkat menurunkan harga produk. Namun, bagi para pelaku di industri perdagangan, seperti distributor dan agen, kondisi ini menjadi ancaman karena peran mereka semakin terpinggirkan dan keuntungan pun berkurang.
Di sektor kepenulisan dan pemrograman, teknologi seperti ChatGPT memudahkan seseorang, bahkan yang awam, untuk menghasilkan teks atau kode pemrograman. Dampaknya, profesi penulis dan programmer mungkin kehilangan nilai eksklusifitasnya, karena keterampilan yang dulu membutuhkan spesialisasi kini dapat diakses dengan mudah oleh teknologi berbasis kecerdasan buatan. Fenomena ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai disrupsi digital.
Disrupsi digital sendiri didefinisikan sebagai perubahan signifikan yang terjadi akibat integrasi teknologi digital dalam berbagai aspek bisnis. Andrew McAfee, seorang peneliti di MIT dan co-director dari MIT Initiative on the Digital Economy, menyatakan bahwa teknologi digital mempercepat kolaborasi manusia dan mesin dalam menyelesaikan berbagai tugas, sehingga mengubah cara perusahaan beroperasi dan berinteraksi dengan pelanggan.
David Rogers, dalam bukunya The Digital Transformation Playbook, mendefinisikan disrupsi digital sebagai perubahan drastis dalam model bisnis yang didorong oleh inovasi digital. Rogers menjelaskan bahwa teknologi digital memungkinkan munculnya perusahaan baru yang lebih gesit dan inovatif untuk masuk ke pasar, serta menawarkan layanan yang lebih relevan bagi konsumen. Disrupsi digital, menurutnya, tidak hanya mempengaruhi produk dan layanan tetapi juga pola pikir perusahaan dalam mengadopsi teknologi baru.
Secara keseluruhan, disrupsi digital adalah perubahan fundamental dalam industri yang disebabkan oleh adopsi teknologi digital baru, yang sering kali mengancam bahkan menggantikan model bisnis tradisional. Kondisi ini memaksa perusahaan dan individu untuk terus berinovasi dan beradaptasi agar tetap relevan dalam pasar yang semakin kompetitif.
Disrupsi Digital: Peluang atau Ancaman?
Terkait pertanyaan apakah disrupsi digital merupakan peluang atau ancaman, jawabannya tergantung pada perspektif dan kesiapan individu atau perusahaan dalam menghadapinya. Sebuah inovasi atau produk baru yang membawa perubahan besar sering kali menghadirkan keduanya secara bersamaan.
Dari sisi peluang, disrupsi digital telah melahirkan banyak profesi baru yang sebelumnya tidak pernah ada, seperti konten kreator, programmer web, pakar keamanan IT, manajer iklan media sosial, agensi Key Opinion Leader (KOL), Data Scientist/Analyst dan sebagainya. Profesi-profesi ini menawarkan kesempatan bagi mereka yang siap mengembangkan keahlian baru dan memanfaatkan teknologi digital.
Dari sisi ancaman, disrupsi digital juga mengancam profesi-profesi yang dianggap mudah digantikan oleh teknologi otomatisasi, seperti sopir, guru, kurir, tukang, buruh pabrik, dan sales lapangan. Pekerjaan–pekerjaan yang bersifat repetitif dan manual berisiko digantikan oleh teknologi, yang lebih efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Dan terakhir melalui tulisan ini penulis ingin berpesan untuk mereka yang ingin tetap relevan di era disrupsi digital, terutama generasi yang pernah hidup di era sebelum digital (generasi Boomer, X, dan Y), kemampuan beradaptasi sangatlah penting. Pembelajaran berkelanjutan dan keterbukaan terhadap informasi terkini akan membantu individu maupun organisasi bertahan dalam menghadapi perubahan yang cepat ini.