JakartaInsideCom – Keputusan PDI Perjuangan untuk memecat Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader partai tengah menjadi sorotan publik.
Pemecatan yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 ini ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto, dengan alasan pelanggaran berat terhadap etik dan disiplin partai.
Namun, di balik dinamika tersebut, muncul suara dari R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), yang menyebutkan bahwa PDI Perjuangan tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai “Jokowi Effect.”
Haidar Alwi menilai, keberhasilan PDI Perjuangan dalam meraih kursi terbanyak di DPR selama tiga pemilu terakhir tak lepas dari peran Jokowi.
“Tanpa Jokowi, PDIP bukan apa-apa. Popularitas partai ini melonjak setelah Jokowi maju sebagai capres pada 2014. Sebelumnya, mereka justru mengalami penurunan suara secara signifikan,” ujar Haidar, Senin (16/12/2024).
Ia memaparkan, sebelum Jokowi masuk ke kancah nasional, PDI Perjuangan sempat merosot pada Pemilu 2009, hanya memperoleh 14,6 juta suara (14,03 persen) dan berada di posisi ketiga.
Tren ini berubah drastis setelah Jokowi maju sebagai capres, dengan perolehan suara PDIP yang meningkat tajam hingga 27 juta suara (19,33 persen) pada Pemilu 2019.
Pemecatan dan Dinamika Politik yang menurut Haidar, pemecatan Jokowi terjadi di tengah situasi di mana hubungan antara dirinya dan PDI Perjuangan semakin renggang.
Namun, ia menilai langkah ini dilakukan setelah partai merasa telah mendapatkan manfaat maksimal dari dukungan Jokowi selama ini.
“Pemecatan ini seperti babak akhir dari hubungan mereka. Tapi jelas, PDIP telah menikmati keuntungan besar dari popularitas Jokowi di tiga pemilu terakhir,” ungkapnya.
Haidar juga menyoroti tuduhan PDI Perjuangan terhadap Jokowi yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, tuduhan itu tidak pernah terbukti, sebagaimana tercermin dalam putusan MK terkait sengketa pilpres 2024.